30. Surprise Paper-1

56 5 2
                                    

Dua minggu telah berlalu dan liburan semester telah usai. Kini aku sudah duduk di kelas XI. Masih dengan teman-teman sekelas yang sama, aku menduduki kelas XI IPS 1. Tidak banyak yang berubah, aku masih satu bangku dengan Nafya. Hanya saja, susunan tempat duduk, kelas, dan beberapa guru-guru baru yang akan mengajar di kelas yang akan berbeda dari sebelumnya.

Satu minggu telah berlalu sejak hari pertama sekolah. Hari ini adalah minggu ke dua masuk sekolah. Setelah aku sampai di sekolah, di saat itu juga bel berbunyi nyaring pertanda upacara bendera yang rutin diadakan setiap hari Senin pagi akan segera di mulai. Aku berucap syukur, untung saja bel berbunyi saat aku sudah hampir sampai ke kelas. Jika tidak, aku harus berdiri di depan gerbang sekolah sampai upacara selesai. Memang tak ada bedanya, sama-sama berdiri. Tapi aku tak ingin menambah lagi catatan keterlambatanku.

Sesampainya di kelas, teman-temanku yang lain sedang bersiap-siap untuk beranjak ke lapangan. Begitu juga dengan para siswa dari kelas lain yang mulai berhamburan keluar memenuhi lapangan utama SMA Harapan Bangsa. Aku pun bergegas untuk menaruh tas di tempat dudukku lantas mengambil topi dari dalam tas. Selanjutnya, aku pun pergi ke lapangan dengan penuh keyakinan bahwa aku tak akan berdiri di depan lapangan karena seragam dan atribut lengkap melekat di tubuhku. Sejak sekolah dasar pun, aku tak pernah berdiri di depan lapangan karena seragam atau atribut yang tidak lengkap, karena aku sangat-sangat benci jadi pusat perhatian. Apalagi jika berdiri di depan lapangan lalu disaksikan oleh para siswa satu sekolah, lengkap dengan guru-guru, kepala sekolah, staf, dan semua manusia yang ada di sekolah ini. Membayangkannya saja aku tak ingin, apalagi jika benar-benar terjadi.

Aku mencari-cari barisan para siswa yang isinya teman-teman sekelasku. Setelah menemukannya, aku masuk ke dalam barisan dan berdiri di baris ke empat bersebelahan dengan Diffa.

Tiga puluh menit telah berlalu. Panas matahari pagi, pembina upacara yang tak selesai-selesai memberi wejangan yang sebenarnya tak didengarkan oleh para siswa, dan keringat yang terus bercucuran menjadi komponen yang lengkap pagi ini. Tak sedikit juga dari para siswa yang terus saja merutuki kepala sekolah yang belum usai juga berpidato di podium depan sana.

Untungnya, setelah ini kami para siswa kelas XI IPS 1 tidak perlu mengganti seragam dengan baju olahraga secepat kilat seperti dulu, karena jadwal pelajaran tentunya sudah berubah. Pelajaran olahraga yang gurunya adalah Pak Indra sudah tidak lagi dijadwalkan hari Senin pagi, tapi Rabu pagi. Namun permasalahannya, setelah upacara usai nanti kelas kami langsung dipertemukan dengan momok menakutkan bagi kebanyakan siswa, khususnya aku; pelajaran matematika di jam pelajaran pertama yang mengharuskan kami semua melaksanakan remidial ujian harian berjamaah.

Iya, berjamaah. Karena tak satupun dari siswa kelas XI IPS 1 yang nilainya mampu melebihi batas KKM pada saat ujian harian kemarin, termasuk Dila—siswa yang notabenenya paling pintar di kelas. Ini cukup mengagetkan.

Setelah upacara dibubarkan, aku segera masuk ke kelas dan berniat untuk mempelajari apa yang akan masuk di remidial matematika nanti. Aku tak ingin remidial sampai dua kali. Sudah cukup. Rasanya aku mual jika harus menjawab soal yang dipenuhi angka itu berulang-ulang kali dengan nilai yang tak juga mencukupi.

"Temen-temen, kata Bu Hani, dia kasih waktu satu jam buat belajar sebelum remidial nanti. Katanya, Bu Hani masuk ke kelas setelah bunyi bel jam pelajaran ke dua," ucap Ardi—ketua kelas XI IPS 1 yang baru saja muncul dari pintu. Iya, ketua kelas tidak diganti sesuai dengan kesepakatan bersama. Yah, jika dibilang Ardi itu sedikit menjengkelkan, tapi dia punya aura yang mampu membuat anak-anak sekelas bisa menurutinya sebagai pemimpin kelas. Apa, ya? Wibawa mungkin?

Platonic Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang