14. Broken off

56 6 0
                                    

Tolong ajari aku cara melepaskanmu sama seperti caramu melepaskanku; tanpa harus diiringi dengan air mata.

* * *

Hari ke hari Rahman semakin menjauh dariku. Aku pun semakin merasa bahwa ada yang tak beres akhir-akhir ini. Dan ternyata benar, Rahman sedang dekat dengan perempuan lain. Dia anak kelas X IPA 3, namanya Aulia.

Aku memang sudah mendengar sedikit kabar tentang kedekatan mereka. Lalu aku tanya ke Rahman, Aulia itu siapa? Ada apa dengan kalian? Dia cuma menjawab, "Aulia anak IPA 3, dia sama aku cuma temen."

Ah, apa benar cuma teman? Aku memang tidak dekat dengan Aulia. Tapi aku mengenali wajahnya dan aku tahu yang mana orangnya meskipun berbeda kelas. Dari situlah, muncul berbagai macam pertanyaan di benakku tentang dia dan Rahman.

Awalnya aku memang sudah berpikiran buruk, tapi kutepis semua itu. Aku tidak ingin terus menerus berpikiran negatif. Tapi, mari kita lihat apa yang terjadi.

"Ini orang kemana, sih? Online tapi kok chat gue gak dibales?" Omelku kesal.

Aku memutuskan untuk meneleponnya. Tak butuh waktu lama, dia langsung mengangkat teleponku. Benar saja, itu adalah bukti bahwa dia memang sedang memainkan ponselnya dan sedang tidak sesibuk yang aku kira.

"Halo?"

"Chat aku kenapa gak dibales, Man?"
Kataku langsung ke intinya.

"..."

"Hei? Kamu masih di sana, kan? Kenapa gak jawab? Aku liat kamu online, kok. Tapi udah hampir 2 jam chat aku gak dibales-bales juga, sesibuk itu, ya?"

Cowok itu bergumam cukup panjang, seperti sedang memikirkan jawaban yang mungkin bisa kupercaya."Maaf, ya, aku lagi buka grup ekskul."

"Grup futsal maksudnya?" Tanyaku heran. Bisa sesibuk itu dengan grup futsal hingga tak membalas pesanku? Memangnya cara membobolkan gawang lawan itu dibahas di grup   chat? Oke, katakanlah aku lebay. Hanya karena hal sepele aku jadi mencak-mencak sendiri. Tapi ketahuilah, aku sedang benar-benar curiga ada sesuatu di balik semua ini. "Alasan kamu tuh gak masuk akal, Man."

Detik berlalu, tak juga kudengar jawaban dari ujung sana.

"Kenapa diem lagi? Aku itu bukannya mau marah. Aku tau kamu punya kesibukan sendiri, tapi aku bener-bener merasa akhir-akhir ini kamu berubah, makanya aku jadi bingung. Kalau memang aku ada salah, harusnya kamu bilang. Bukan malah kayak gini."

Rasanya aku ingin mengakhiri hubungan ini lebih dulu. Namun berat rasanya. Rasa sayangku kepada dia benar-benar mengalahkan segalanya.

"Hmm, iya. Maaf, ya. Tapi kamu gak ada salah apa-apa kok."

"Terus kenapa kamu jadi kayak gini?"

"Aku boleh ngomong sesuatu gak?"

Aku diam, menunggu apa yang ingin dia katakan.

"Tapi kamu harus janji sama aku untuk gak akan sedih, oke?"

Apa maksudnya? Apa dia memang benar-benar ingin...

"Memangnya mau ngomong apa?"

"Kayaknya hubungan kita sampe sini aja, Ra. Kamu harus janji sama aku untuk nggak sedih. Dan aku juga nggak mau setelah putus, malah jadi musuhan."

Speechless. Firasatku selama ini benar. Sesaat jantungku bergemuruh. Tanpa sadar, setetes air mata telah lolos dari tempatnya. Ingin kukatakan kalau sebenarnya aku tak ingin mengakhiri hubungan yang sudah kubangun bersama dengannya dari semenjak 13 bulan yang lalu ini. Tapi apalah aku? Mana mungkin aku harus memaksakan dia untuk tetap bersamaku sementara hatinya sudah tak sepenuhnya untukku.

Platonic Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang