27. Realized

42 3 0
                                    

"Maafkan aku yang telah membiarkanmu masuk ke tempat di mana kau tidak akan mendapat balasan dari apa yang telah kau berikan; perasaan."

*  *  *

"Jadi lo sama Farel.. beneran p-pacaran?"

Risa menganga tak percaya. Iya, orang yang memanggilku tadi Risa. Lain halnya dengan dia, aku malah sangat terkejut dengan keberadaannya di sini. Itu berarti, dia dengar semua dong?

"Eh, Risa? K-kok lo ada di sini?"

Risa mengabaikan pertanyaanku lantas menarik lenganku paksa dan membuatku duduk di warung depan lorong sekolah, tempat yang sama saat Nafya menceritakan tentang perasaan Ardi yang sebenarnya. Rasanya miris mengingatnya. Namun bagaimana bisa aku tak ingat? Orang tempatnya sama.

"Jadi kalian beneran pacaran?" Tanyanya menyelidik.

Kicep sudah aku dibuatnya. Tapi mungkin inilah waktunya aku mengeluarkan isi hatiku. Jujur saja, setelah aku menerima Farel, ada perasaan tak enak di hatiku. Apalagi, sekarang aku sadar bahwa aku telah mengulang kebodohan lama, yaitu menerima orang yang tidak kucintai. Biarpun judulnya 'main pacar-pacaran', tapi kan tetap saja aku sudah menerimanya menjadi pacarku. Digunakan ataupun tidak embel-embel 'main', tetap saja faktanya kami pacaran. Benar, 'kan?

"G-gue itu main pacar-pacaran sama Farel, Ris."

"Hah?! Main pacar-pacaran gimana maksudnya?" Risa makin tercengang.

Aku pun menceritakan semuanya kepada Risa tentang kejadian dua hari lalu saat Farel mengajakku untuk main pacar-pacaran itu. Aku sendiri sulit untuk mengerti mengapa aku lagi-lagi membuat keputusan yang membuatku jadi kelimpungan sendiri.

"Jadi udah dua hari lo jadian sama Farel? Terus kalian gak ada yang mau cerita sama gue gitu? Wah, parah ini. Tapi oke, karena gue lagi baik dan gak mau marah-marah, jadi lupain aja soal itu. Sekarang gue mau tanya, apa lo emang beneran cinta sama Farel?"

Aku menggeleng pelan. "Ng-nggak. Sebenernya nggak, Ris. Tapi nggak tau kenapa gue--"

"Tuh, 'kan! Udah gue duga. Terus kenapa lo terima, sih?" Potong Risa heboh sendiri. "Jangan bilang lo nggak tau kenapa bisa terima dia?" Balasnya seperti sudah tahu jawaban yang ada di kepalaku.

"I-iya, gue gak tau kenapa bisa terima dia."

"Ya ampun. Terus gimana sama Ardi? Kan lo mutusin Roy kemarin karena dia, pasti sekarang juga lo masih cinta kan sama dia?"

"Gue masih cinta, tapi dia udah balikan sama Dita." Aku tersenyum kecut.

"Balikan?!"

*  *  *

Sudah dua hari ponselku sengaja kumatikan. Aku sedang tak ingin menerima pesan apapun dan dari siapapun. Terlebih itu dari Farel. Tepat kemarin lusa, aku dan Farel sudah genap satu bulan bermain pacar-pacaran.

Aku sadar, selama bermain pacar-pacaran dengan Farel, aku tak bersikap layaknya seorang partner main pacar-pacarannya. Jika dia memberi perhatian lebih, maka aku tidak. Jika dia sering menanyakan kabar, itu juga tidak kulakukan. Aku memang benar-benar kelewatan.

Harusnya jika aku sudah setuju menjalankan hubungan ini dengannya, maka aku juga harus menerima semua konsekuensinya, 'kan? Tapi apa dia menyadari semua yang kulakukan selama ini? Jika iya, kenapa dia tak pernah marah? Jika tidak, kurasa sepertinya selama ini sikapku yang tidak sama sepertinya sudah cukup kentara.

Aku mengacak-acak rambut frustrasi. "Arghh, ini gue kenapa jadi nyakitin hati anak orang mulu, sih?!"

"Bego!" Sambungku masih mengumpati diri sendiri.

Platonic Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang