13. Change

55 5 2
                                    

"Kenapa tadi, Ra?" Tanya Ardi sambil menoleh ke arahku."

"Tadi?"

"Tadi pagi lo dibelakang sama Puput, kayaknya serius amat," katanya memperjelas pertanyaan sebelumnya.
Ardi itu memang tipikal orang yang keponya minta ampun.

Aku ber-oh singkat. "Biasalah Puput, gara-gara lo."

"Gue?" Tanyanya lagi.

"Iya."

"Gue kenapa?"

"Ya pokoknya dia itu cemburu sama kita, terus dia nuduh gue yang nggak-nggak. Gara-gara lo itu."

"Lho, kok gue?" Katanya mengernyit bingung.

"Nanya mulu lo! Kok gue, kok gue. Dia kan suka sama lo. Jadi dia cemburu, marah liat lo deket-deket sama gue."

Setelahnya, Ardi hanya bergumam singkat dengan ekspresi datar. Itu membuatku bertambah kesal! Aku dan Puput ada masalah gara-gara dia, dia malah biasa saja.

"Cuma 'ooh' doang, nggak ada yang lain?"

"Emang gue harus gimana?"

"Tau ah! Pikir aja sendiri lo harus gimana."

"Keselnya jangan sama gue, dong. Lagian juga lo gak perlu ikutan emosi kalo yang dia bilang itu emang gak bener."

"Iya sih, tapi tetep aja gue kesel dituduh-tuduh begitu."

"Udah, santai aja, lama-lama juga nanti dia nggak suka lagi sama gue."

"Iya emang harusnya dia sadar kenapa bisa suka sama orang kayak lo."

* * *

Hari ini aku tiba di sekolah lebih pagi karena semalam tak sempat mengerjakan tugas matematika yang membuat kepala migrain itu. Tadi malam aku keburu ngantuk sampai lupa mengerjakannya.

Jadilah pagi ini aku mengerjakannya di sekolah. Sialnya pelajaran itu ada di jam pertama. Aku jadi harus mengerjakannya secepat mungkin sebelum bel berbunyi.

Kali ini Nafya belum datang. Aku yakin, pasti dia juga belum mengerjakan tugas matematikanya. Tapi baginya itu adalah hal biasa. Setiap ada tugas matematika dia memang jarang mengerjakan tepat waktu, dengan alasan tidak mengerti. Paling, dengan santainya dia mengerjakan di pagi hari, itu pun menyalin punyaku atau kadang punya Dila. Tidak seperti aku yang saat ini kalang kabut ketakutan tidak bisa menyelesaikan sampai bel masuk berbunyi.

Aku yang sedang duduk sendiri di bangku sembari mengerjakan tugas yang dipenuhi angka itu tiba-tiba heran dengan dua cowok yang duduk di depanku ini. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja mereka meletakkan uang lima puluh ribu di atas mejaku. Seingatku sih, mereka tidak punya hutang. Lalu kenapa memberi uang?

"Apaan, nih?" Kataku dengan dahi berlipat.

"Ya duit lah! Nenek-nenek yang udah rabun aja tau ini duit walau dari jarak sepuluh meter," sahut Roy.

"Maksud gue ini uang apa? Kenapa dikasih ke gue?"

"Itu bagi dua sama Nafya, ya," ujar Ardi sambil senyum-senyum sendiri. Sungguh, itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku tadi.

Platonic Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang