8. Feeling and Commitment

104 5 0
                                    

"Kamu aneh belakangan ini. Kamu marah, ya, sama aku?"

Alih-alih menjawab, Rahman justru hanya diam memandangku dengan wajah datar.

"Gimana menurut kamu aja," jawabnya setelah terdiam beberapa detik.

"Man, please, jangan kayak anak kecil gini, dong. Aku tau kamu marah tapi aku nggak tau salahku apa kalo kamu gak bilang."

"Kita pulang aja, aku mau latihan futsal."

Aku hanya diam mendengar jawabannya yang seperti itu. Jujur saja, aku tidak enak hati. Aku sudah tahu apa yang membuatnya jadi seperti ini. Aku mendesaknya untuk cerita agar aku mendengar langsung dari mulutnya. Aku tidak menceritakan masalah yang membuatnya marah itu karena aku tak tahu bagaimana harus memulai ceritanya.

"Ayo naik, Ra."

"Nanti dulu, aku gak mau kayak gini. Kalo kamu marah, bilang sama aku apa salah aku. Jangan kayak gini, aku nggak ngerti, Man."

Rahman yang telah duduk di atas motornya kini turun dan memandangku dengan tatapan yang tidak dapat aku artikan.

"Sekarang aku tanya sama kamu, kira-kira pantas nggak aku cemburu kalo ada yang mau ambil kamu dari aku?" Tanyanya, agak dramatis menurutku.

Entah kenapa tiba-tiba bibirku beku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Maya benar, Rahman sudah tahu tentang Ardi dan Farel.

"Kenapa nggak jawab? Aku tau kamu nggak bodoh. Sebenernya kamu tau aku marah, cuma kamu pengin aku jelasin langsung kenapa aku marah padahal kamu tau apa penyebabnya. Iya, kan?"

Ya, yang dikatakan Rahman sepenuhnya benar. Aku jadi merasa bersalah.

"Aku sayang sama kamu, Ra. Aku gak bisa marah-marah sama kamu walaupun aku nggak bisa nahan cemburu juga. Makanya aku lebih pilih diam dan berharap kamu ngerti sendiri."

Aku hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Rahman benar, sangat benar. Aku jadi sangat-sangat merasa bersalah.

"Sekarang aku tanya, kenapa kamu gak cerita sama aku?"

"Aku nggak tau harus gimana nyeritainnya. Aku juga takut kamu marah."

"Kenapa aku harus marah kalo kamu memang gak punya perasaan apa-apa sama dua cowok itu? Kecuali kalo kamu memang suka sama salah satu dari mereka."

Astaga, lagi-lagi dia benar. Aku bagai pencuri yang baru saja terciduk. Aku sebenarnya tak tahu apa aku benar-benar suka pada Ardi atau tidak. Namun aku tahu, ada yang berbeda jika aku ada di dekatnya. Ini aneh, aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku tidak ingin meninggalkan Rahman, tapi aku juga tak ingin Ardi menjauh dariku.

"Ng-nggak mungkin lah aku suka sama mereka." Sungguh aku tahu yang kukatakan ini dusta. Maafkan aku, Rahman.

"Bener?" Tanya Rahman meyakinkan.

"Bener, lah."

"Yakin?"

"Iya, yakin."

"Ya udah deh, sekarang kita pulang," katanya seraya memberikan helm kepadaku.

"Kamu... Udah nggak marah?"

Platonic Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang