36. Precious Memories

37 4 0
                                    

Memang tidak semua orang ditakdirkan hadir untuk menetap.
Ada beberapa yang ditakdirkan hadir hanya untuk mengajarkan beberapa hal.

Meski semua hanya berakhir luka, terima kasih karena pernah hadir untuk memberi kenangan berharga. Mengajarkanku secara tersirat tentang banyak hal yang awalnya belum aku pahami.

Terima kasih.

-Teruntuk siapapun, yang pernah hadir di sini.

*  *  *

"Wah, enak banget ya yang punya pacar,"  ujar suara seseorang dari arah belakang.

Aku pun menoleh ke belakang, mencoba melihat siapa yang bicara tadi. "Eh, Putra. Apa kabar lo? Sombong banget kayaknya sekarang."

Orang itu Putra. Temanku sewaktu SMP dulu, sama seperti Maya. Putra juga teman sekelasnya Rahman. Meskipun sekarang masih satu sekolah, kami jarang bertemu. Di sekolah pun jika berpapasan paling hanya menegur atau basa-basi sekedar formalitas belaka. Sudah lama tak mengobrol seperti ini dengannya.

Putra duduk di sampingku, sepertinya dia berniat berteduh dulu karena hujan sudah mulai turun.

"Kabar gue baik, lah. Gue nggak pernah sombong, ya! Omong-omong, lo beneran udah jadian sama tuh orang?"

"Orang mana?"

"Yang tadi, kalo nggak salah dia yang pernah nembak lo waktu lo masih sama Rahman, 'kan? Siapa namanya gue lupa?" Apa orang yang dia maksud itu Ardi?

"Ardi? Nggak kok, gue nggak pacaran sama dia."

"Ah yang bener, masa iya manggilnya sayang sayang gitu nggak pacaran?"

"Kuping lo budek apa, Put? Perasaan tadi dia nggak bilang gitu. Lagian, jaman sekarang itu orang manggil sayang-sayang tuh belum tentu pacaran, cuma modus doang. Makanan jatuh aja dibilang sayang."

"Hahaha, udahlah lupain. Tapi lo beneran nggak jadian sama dia? Setahu gue sih, lo deket banget sama dia."

"Nggak, gue gak pacaran sama dia. Ya deket juga biasa aja, nggak deket-deket banget. Cuma temen biasa."

"Yakin?"

"Ya iya lah! Lo kenapa, sih? Aneh banget, lo suka ya sama Ardi? Nanyain dia mulu."

"Sembarangan aja! Gue masih normal." Tentu saja aku tahu dia normal, apalagi Putra itu bisa dibilang punya tampang lumayan yang menurutku sepertinya akan banyak digandrungi kaum hawa di sekolah. Yang tadi itu aku hanya bercanda. Namun meskipun lumayan tampan, dia belum punya pacar. Entah kenapa. Mungkin tidak laku atau tidak ada yang mau? Atau mungkin dia punya alasan sendiri. Entahlah.

"Hahaha, ya abisnya lo nanyain dia mulu."

"Hm, sebenernya ya, gue nggak suka liat Rahman pacaran sama Aulia," kata Putra yang tiba-tiba membahas Rahman dan Aulia.

"Kenapa emang? Lo suka sama Aulia?"

"Dih, amit-amit."

"Terus, kenapa lo nggak suka liat mereka pacaran?"

Jujur saja, sebenarnya aku sangat malas dengan topik bahasan ini. Walaupun aku sudah melupakan, bukan berarti semuanya sudah benar-benar menghilang. Ibarat luka yang telah sembuh, tak terasa sakit lagi, namun tetap saja bekas lukanya masih ada. Lagipula tak ada gunanya membahas Rahman dan Aulia yang sudah bahagia di atas luka yang tercipta di hatiku waktu itu. Tapi aku penasaran, kenapa Putra tidak suka melihat Rahman dan Aulia pacaran?

Platonic Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang