25. Useless Feeling

42 5 6
                                    

Harusnya aku sadar, di antara kita hanya ada sekat yang tak bisa direngkuh.
Terima kasih, kau telah melemparku jauh-jauh setelah kau datang tanpa mau mempertanggungjawabkan ulahmu.

* * *

"Nafya!" Aku memanggil Nafya yang tengah sibuk mengerjakan tugas ekonomi yang pelajarannya sebentar lagi akan dimulai.

"Apa?"

"Lo semalem nelepon gue cuma mau nanya itu doang?"

Nafya tiba-tiba berhenti menulis, lantas melihatku dengan tatapan bingung.

"Heh! Kok malah bengong, sih?!" Aku melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya yang sedang bengong.

"Eh? I-iya, nanti gue kasih tau."

"Kasih tau apa?!"

Nafya melanjutkan pekerjaannya. Dia lagi-lagi mengabaikan aku.

"Heran deh, lo tuh kenapa suka banget ngacangin gue, sih?!" Aku sekarang sedang dalam mode tidak santai.

"Duh, jadi kecoret 'kan! Lagian lo nggak liat apa gue lagi ngapain?! Nanti gue kasih tau, diem dulu napa."

* * *

"Vira."

Aku menoleh ke arah sumber suara. Tanpa melihat wajahnya pun aku sudah tahu siapa yang memanggilku tadi. Kemudian orang itu langsung duduk di sebelahku tanpa izin.

"Siapa yang suruh lo duduk di situ?"

"Lo lagi ngomong sama siapa, sih?" Tanya Ardi. Iya, Ardi. Orang yang duduk di sebelahku tanpa izin ini Ardi.

Sekarang aku sedang berada di taman belakang sekolah. Di sini sepi, sangat sepi. Entah mengapa para siswa sekolah ini jarang sekali datang kemari. Padahal di sini sejuk, banyak pepohonan yang membuatnya tampak teduh. Dan yang paling penting, suasananya tenang. Iya, tenang. Itu yang aku butuhkan sekarang. Namun sialnya, kedatangan Ardi membuat jantungku kembali lompat-lompat.

"Ya ngomong sama elo lah! Emang di sini ada siapa lagi selain kita berdua?!" Aku mulai ngegas. Oh, Tuhan tolonglah, aku sedang tidak mau bertemu orang ini. Kenapa sekarang dia ada di sini, sih?

Ardi terkekeh pelan. "Kenapa marah mulu, sih? 'Kan tadi lo ngomongnya liat ke depan, jadi gue kira bukan ngomong sama gue."

"Jadi menurut lo gue lagi ngomong sama makhluk astral, gitu?!"

"Ya kali aja 'kan? Lagian lo ngapain sendirian di tempat sepi kayak gini? Kebanyakan anak-anak sekolah ini takut loh duduk di sini sendirian."

"Memangnya kenapa? Gak boleh gue ke sini sendirian?" Ucapku masih datar.

"Ya boleh lah. Gue cuma nanya, lo nggak takut apa sendirian di sini?"

"Enggaklah! Lagian nih ya, kalo gue bisa ngobrol sama yang gak terlihat, mending juga ngobrol sama mereka. Dibandingin ngobrol sama manusia, suka bikin sakit. Seenggaknya mereka nggak munafik." Entah kenapa tiba-tiba dadaku sesak. Air sudah berkumpul di pelupuk mata. Dari tadi pagi mood-ku memang sangat buruk.

Platonic Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang