Amarah 2

2 0 0
                                    

Aku heran dengan perempuan yang tadi bertemu dengan bang Raka. Mengapa dia menangis? Apa bang Raka menyakiti perempuan itu.

"Defita file aku mana?" Sekonyong-konyong Naufal menghampiri ku dan bertanya tentang filenya. Oh ya tadinya aku pikir untuk menyerahkan laporan ku dulu pada pak Raka baru menyimpan file milik Naufal ke ruangan pak Adrian. Aku gak mau kena damprat pak Raka hanya karena terlambat memberikan laporannya. Tapi nyatanya bang Raka malah buat aku nonton drama yang gak jelas konfliknya.

"Ta aku kira kamu udah kasih laporan aku ke pak Adrian, aku harus cepat nih pak Adrian udah nunggu" Naufal mengambil laporannya secara terburu-buru dari tanganku. Padahal aku belum membereskannya karena terjatuh tadi, aku juga belum minta maaf sama Naufal karena laporan itu tak sampai di ruangan pak Adrian.

"Naufal maaf ya" Teriak ku padanya, karena Naufal sudah berlari ke arah lift. Sepertinya dia memang tengah terburu-buru.

"Adefita Nadhifah, masuk" Teriak pak Raka di ambang pintu ruangannya.

Aku mengangguk pasi, kala mendengar nada bicara pak Raka yang dingin. Ruangan ini akan kembali mencekam.

"Mana laporannya?" Tanyanya masih dengan nada interogasi seorang killer bos.

"Ini Pak" Serah ku padanya. Dari hari pertama sampai hari ini aku mengerjakan laporan yang menurutku rumit itu. Semua pengalaman dan pengetahuan yang aku dapat selama menjalani prakerin tertuang dalam beberapa berkas yang belum aku sampul itu. Setiap hari aku bangun di sepertiga malam untuk mengerjakannya. Ba'da tahajjud dan murotal Al Qur'an laptop ku sudah standby menemani sunyinya fajar yang menyingsing.

Plakhhhh

Laporan ku dibanting di meja berlapis kaca milik pak Raka. Deru nafasku mulai tak karuan, hari ini dua drama akan terjadi. Seorang perempuan keluar dari ruangan ini dengan air mata. Lalu bagaimana nasibku nanti.

"Ini yang kamu sebut laporan, selama dua bulan lebih saya kasih kamu waktu untuk mengerjakannya. Dan hasilnya memalukan" Damprat pak Raka.
Aku tersentak kala mendengar kalimat terakhir yang ia lontarkan.

"Saya tau cita-cita kamu tinggi. Untuk membuat laporan sebanyak 40 halaman saja kamu gak becus" Sarkasnya. Menohok sepertinya semua kalimat ia lontarkan hari ini akan menusuk hatiku.

"Dengar kamu pasti sudah tau tentang semua ini. Tapi apa hasilnya buruk! Kamu telah mengecewakan semua orang yang berharap padamu--"

"Orang tua, saudara kamu, teman-teman kamu. Semua orang bangga karena kamu bisa prakerin di perusahaan besar ini. Tapi apa yang kamu berikan untuk mereka. Harapan semu, kamu cuma bisa pacaran di kantor ini--"

"Maaf pak jika ada yang salah dengan laporannya, saya akan segera memperbaikinya. Dan soal pacaran hal itu tidak pernah saya lakukan di kantor ini" Tegas ku. Ini sudah diluar batas kesabaran ku menghadapi kemarahannya.

"Jika ada yang salah? Laporan kamu itu hancur Defita" pak Raka mengulangi perkataan ku. Tidak dia ingin mencaci ku.

"Gak pacaran kamu bilang, dengan kamu ngobrol di ruangan yang sama dengan lawan jenis kamu bilang bukan pacaran" aku sempat akan melakukan pembelaan tapi pak Raka mengangkat tangannya sebagai pertanda bahwa aku tak boleh menyela ucapannya.

"Kamu udah banyak melakukan kesalahan. Kamu langgar kode etik profesi, kamu rusak citra kamu sebagai seorang muslimah, dan kamu biarkan syaitan menguasai diri mu, kamu kecewakan orang tua mu dengan melanggar janjimu sendiri" Aku bergeming mendengarnya, saat ini aku rasa pak Raka bukan tengah membahas kesalahan dalam laporan ku. Tapi ia membahas tingkah laku ku. Meski dia terlihat marah namun apa yang ia ucapkan seperti sebuah nasehat. Aku menganggapnya ia tengah mengingatkan ku tentang semua yang pernah aku ucapkan pada bang Raka. Ia tau tentang tentang semua harapan, impian dan cita-cita ku.

"Kenapa kamu jadi seperti ini Defita, saya muak dengan laporannya. Gimana kamu mau jadi pegawai jika membuat laporan saja hasilnya sangat buruk" Aku hanya bisa menunduk, berkali-kali aku mengecek laporan itu, meminta pendapat dari Mbak Mei, pak Adrian dan mereka bilang laporan ku sudah bagus bahkan untuk seorang karyawan magang seperti ku laporan itu sangat baik. Lalu apa yang ku terima hari ini, sebuah kemarahan dan dampratan dari seorang bang Raka.

"Dengar ini kalimat terakhir dari saya untuk kamu. Keluar....! Dan jangan pernah injak ruangan ini lagi" Teriaknya. Aku beringsut mundur dari ruangan itu. Inikah hasil yang harus ku terima dari apa yang telah ku perjuangkan selama dua bulan lebih. Mengorbankan waktu tidur, istirahat bahkan aku jarang membantu Mamah di dapur hanya untuk menyelesaikan tugas ini. Perkataan pedas yang keluar dari mulut bang Raka membuat ku sakit hati. Orang yang ku anggap terbaik dalam hidup ku, dia memberikan rasa kecewa yang sama dengan orang lain. Tak pernah menghargai usaha ku.

Aku menangis di bawah pohon dekat parkiran, berharap hujan turun membawa kesedihan ku. Hampir tiga bulan aku menjadi anak magang di kantor ini. Dan di minggu terakhir aku bekerja bang Raka menghadiahkan ku sesuatu yang tak bisa aku lupakan semua perkataannya hari ini telah membuktikan pada ku bahwa tak ada manusia yang sempurna dengan sejuta kebaikannya. Bang Raka hanya manusia bisa yang bisa marah, kesal, dan membuat orang lain kecewa. Kemarahannya hari ini telah membuktikan kalau dia bukan sosok malaikat dalam hidup ku.
Ku pikir kemarin hubung ku dengan bang Raka akan membaik saat ia kembali mengantarkan ku pulang.

Aku ingin menerobos rintikan hujan ini, untuk segera pulang. Dulu aku sering pulang dengan basah kuyup karena menerobos hujan, sekalipun petir menyapa bumi kala itu. Tapi sekarang aku tak bisa melakukannya jika dulu aku membawa buku, meskipun akan basah terkena air aku bisa mengerikannya kembali nah sekarang keadaannya berbeda bukan buku yang ada ada di tas ku melainkan laptop terkena sedikit air saja habis semua data yang telah ku kerjakan susah payah.

"Ade... Masuklah, saya anterin kamu pulang" Teriak seorang dibalik kaca mobilnya. Siapa lagi kalau bukan bang Raka. Aku masih bergeming mengingat kejadian kemarin.

"Cepatlah keburu sore" Pintanya. Daripada pusing, dengan pergulatan pikiran ku yang tak kunjung mendapat kepastian lebih baik aku naik saja.

Aku sedikit berlari memasuki mobilnya. Sekarang apa yang akan terjadi? Hanya keheningan yang menemani perjalanan kami.

"De.." aku mendongak kala mendengar bang Raka membuka suaranya.

"Jaga diri kamu, sekarang sudah musim hujan kamu kan punya masalah dengan hidung kamu yang tak kuat menahan suhu udara dingin" aku mengangguk atas nasihanya. Saat itu perasaan ku sangat bahagia karena bang Raka telah bersikap seperti biasanya. Perhatian, dengan ku.

"Terimakasih bang ku pikir setelah kejadian hari itu, bang Raka tak akan kembali--"

"Jangan pernah terlalu berharap, karena saya tidak akan selalu bersama mu" potongnya, Ucapannya itu menandakan jika hari ini bang Raka memang bukanlah seseorang yang sempurna.

Itu perjalanan terakhir ku bersama sosok bang Raka yang aku kenal. Perhatian, rempong, dan selalu ngerecokin hidup aku. Tapi sekarang semuanya berubah, tak ada sosok bang Raka yang seperti itu lagi. Di kantor ini dia menjadi sosok bos kutub yang mengerikan. Tak pernah tersenyum, hanya kemarahan dan sarkatik yang ku terima darinya.

Entahlah, apakah bang Raka yang dulu akan kembali atau tidak. Aku hanya berharap jika bang Raka tak pernah berubah, dia akan selalu menjadi sosok kakak terbaik bagiku. Ku mohon bang jangan pernah berubah...

Assalamu'alaikum reader's
Empat part terakhir segera publish.
.
Tenang author akan kasih tiga extra part buat kalian...
Terimakasih 📔 📕

{JTPH 1} Janji Tak Pernah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang