Qalbi Nadhak

10 0 0
                                    

'Meski jarak dan waktu telah memisahkan kita, namun hati ini tetap akan merindukan nama yang sama....
Hati mu telah memanggil ku'

Defita tengah sibuk dengan laptopnya, bisa dibilang dia tengah lembur untuk menyiapkan laporan analisa konsumen yang harus ia berikan pada atasannya. Dan lagi sekarang ia sudah memasuki semester akhir, tugas membuat skripsi telah didepan mata. Beruntunglah Defita telah menyiapkan judul skripsinya sejak dua tahun yang lalu. Hal ini untuk meminimalisir resiko yang akan ia hadapi kedepannya.

Sementara itu di ruang keluarga Tian tengah sibuk mengetik sesuatu di handphonenya.

"De jangan terlalu gila kerja, banyak minum air putih juga jangan lupa makan" Ucap Tian ketika mendapati adiknya yang masih berkutat dengan laptopnya itu.

"Iya Kak" Defita masih sibuk saja dengan aktivitasnya.

Tian menyimpan ponselnya di meja, lalu ia menyeruput teh hangat yang tersaji di sana. Pikirannya tiba-tiba teringat akan sesuatu, buku biru itu. Sebelum kepergian Raka ke Dubai dulu, ia sempat mendapat amanah dari Raka untuk menyampaikan sebuah surat. Kala itu hubungan Tian dan Defita belum sebaik sekarang. Tian hanya menyelipkan surat itu di buku biru itu dengan harapan Defita akan membacanya. Saat itu Defita tengah menangis dalam diamnya, ia tak sama sekali menyadari kehadiran Tian di kamarnya. Tian sering melihat Defita membawa buku itu, dengan alasan itulah Tian tak pernah mempertanyakan surat yang ia simpan kala itu.

"Mnnn De--" Tian ragu untuk menanyakan apakah Defita telah membaca suratnya.

"Apa??" Balas Defita dengan tetap fokus pada laptopnya.

"Kamu-- menurut kamu Alisha orangnya gimana" Tian mengurungkan niatnya, sepertinya ia tak mau ikut campur. Dan Tian rasa Defita telah menerima surat itu, ia lebih memilih topik lain untuk pembicaraannya kali ini.

Mendengar nama Alisha di sebut, sontak Defita pun menghentikan aktivitasnya." Aku gak tau, aku kan baru ketemu dia sekali"

"Kesan pertama saat kamu ketemu dia gimana?" Defita sedikit memutar bola matanya, mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan sang kakak.

"Dia cukup santun" Tanggapan singkat dari adiknya ini tak membuat Tian merasa aneh. Terlebih dia tau kalau Defita tipikal orang yang cuek.

"Jadi kamu suka gak sama Alisha?"

"Ya enggaklah--" Spontan Defita mengatakan hal itu, membuat Tian mengernyit akan jawaban Defita.
"Maksud kamu???"

"Emmm maksudnya itu aku gak suka sama Alisha soalnya kita kan sama-sama perempuan. Ya kalo kamu suka sama dia aku sih fine-fine aja" Alibi yang Defita buat hanyalah sekadar untuk mengalihkan rasa sakit hati yang pernah ia terima dari Alisha.

"Kalo aku mau lamar Alisha, gimana?"

"Apa???? Lamar....." Defita terpekik sesaat ketika mendengar hal tersebut. Ternyata kak Tian memang sudah sangat serius dengan Alisha. Sementara Tian hanya mengernyit heran dengan tanggapan adiknya ini.

"Kalo boleh tau, kamu kenal dia dimana?" Ucap Defita ragu. Ia khawatir jika Tian bersama Alisha maka masa lalunya bersama Alisha akan terbongkar.

"Aku kenal sama dia di kampus, kita satu fakultas. Pertama kali aku ketemu pas ospek dulu, hari pertama ospek kita sama-sama terlambat" Jelas Tian dengan gambaran lengkungan tipis di bibirnya.
Defita mulai fokus dengan pembicaraannya bersama sang kakak, ia juga sempat tak percaya jika kak Tian benar-benar menyukai Alisha.

{JTPH 1} Janji Tak Pernah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang