G

30 6 0
                                    

Max keluar dari kamar mandi dan langsung menuju ke meja makan. Meminum segelas susu hangatnya dan mengambil kursinya.

“Keringkan dulu rambutmu itu”, perintah L pada Max dengan rambut yang masih basah hingga menetes ke pancakenya. Max berdiri pasrah dan mengambil handuknya kembali untuk mengeringkan rambutnya. L menambahkan beberapa sendok madu yang tersisa di masing-masing tumpukan pancake. Keduanya mengambil kursi masing-masing. Mereka menikmati sarapan pagi dalam diam.

“Kau kemarin tertidur setelah menangis terisak selama 30 menit,” Max memulai pembicaraan. L berusaha mengingat kejadian itu tapi hasilnya nihil.

“Kemudian aku membaringkan mu di kasur dan aku belajar di sofamu. Niatku belajar hingga pagi ternyata tak terwujud,” tambah Max.

“Mengapa kau tidak membiarkanku sendiri setelah itu?” Tanya L penasaran.

“Maddie mengirimku pesan bahwa dia akan datang kemari untuk mengambil bukunya yang tertinggal di kamarmu beberapa hari lalu,” jawab Max menerangkan. L teringat bahwa dia lupa mengembalikan buku Maddie yang tertinggal saat Maddie bermalam di flatnya.

“Namun aku menunggunya dan tak kunjung datang, malah aku tertidur di sofamu”, tambah Max setelah menghabiskan susu hangatnya. L hanya terdiam, mendengarkan jawaban Max secara seksama.

“Aku pergi dulu, maaf aku tak bisa memberimu tumpangan ke kampus. Terima kasih untuk sarapannya. Tiap hari saja kau membuatku makanan enak hahaha” kata Max dengan nada candaannya yang khas.

“Hahaha enak saja kau. Semangat untuk ujianmu,” ucap L sambil mengambil piring dan gelas kotor itu. Max tersenyum dan mengangguk.

“Max..” panggil L dan Max berhenti seketika dan mendekat ke L,

“Terima kasih untuk kemarin,” lanjut L dan langsung memeluk Max.

Max terkejut. Max membalas pelukan itu. L merasa nyaman, damai, dan seperti dilindungi. Begitu juga dengan Max, merasakan kehangatan di antara mereka berdua. Semangatnya untuk menanghadapi ujian hari ini meningkat ke level atas.

Mereka bertahan pada posisi tersebut beberapa saat hingga ponsel Max bordering. Max segere melepaskan L dan mengangkat telpon dari ponselnya.

Max melambaikan tangannya, mengisyaratkan “sampai jumpai di kampus” pada Ellena. L melambaikan tangannya dan tersenyum mengiringi kepergian Max di melewati lorong kamarnya yang sepi.

***

“Kau tidak belajar di tempatku kemarin?” Tanya L pada Maddie saat mereka makan siang setelah ujian.

“Maaf L, kemarin urusanku dengan Hans cukup rumit. Aku tak sempat kesana dan belajar sendiri di rumah”, jawab Maddie,

“sebisaku hehe” tambahnya.

“Tapi kau sukses kan ujian tadi?” Tanya L memastikan.

“Tenang saja, soal yang ku dapat hampir sama seperti yang ku pelajari kemarin hehe. Setidaknya tidak ada nomor yang ku kosongi” jawab Maddie.

“Beruntungnya kau, soal yang ku dapat mirip soal dari tugas-tugas kita dan aku hanya mempelajarinya sekilas,” kata L putus asa.

“Tenang saja, kau pasti mendapatkan hasil yang baik”, Maddie mencoba meyakinkan.

“Kau juga tentunya,” tambah L.
Keduanya makan seperti biasanya, berdua dengan tenang sampai akhirnya …

“Mad, ini berkas yang kau minta kemarin”, seseorang melemparkan tumpukan kertas di atas meja mereka. Sontak mereka berdua terkejut.

“Tidak bisakah kau bersikap sopan? Kami sedang makan,” ucap L dengan geramnya.

“Oh jadi ini gadis bernama L, Loser,” gadis itu mendorong kursi yang sedang diduduki L hingga sup yang dimakan beberapa masuk ke hidung saat L akan menyantapnya.

“Meghan, hentikan itu!” teriak Maddie setelah itu. Semua orang di kantin langsung mengarahkan pandanga mereka ke arah tiga gadis tersebut. Tak terkecuali Max, ternyata dia dari tadi berada di kantin bersama teman-teman organisasinya.

Gadis itu, Meghan, tak menghiraukan Maddie dan berlalu begitu saja.
Ellena mencoba mengeluarkan sisa sup yang menempel dalam hidungnya. Terasa panas dan sesak di dalamnya. Maddie mencoba membantu L dengan membersihkan sisa sup yang tumpah di baju L. Max yang melihat kejadian itu langsung menghampiri mereka berdua.

“Kau tak apa L?” tanya Max.

“Kau tak lihat tadi? Hidungku panas sekarang”, jawab L setengah membentak. Max terdiam dan merapikan meja di depannya.

“Aku tak pernah berbicara dengannya, apa masalahnya denganku?” ucap L sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.

“Ini pasti gara-gara kemarin”, ucap Max tiba-tiba.

“Mengapa kau bersamanya kemarin Maddie?” nada Max putus asa, seakan memohon agar tidak terjadi.

“Setalah selesai urusanku dengan Hans, dia menelponku untuk mengecek inventaris kita tahun lalu, dan datanya ada di buku yang tertinggal di tempat L kemarin. Aku sudah mencegahnya agar besok saja ku berikan saat di kampus. Namun dia tidak mau. Sampai-sampai dia mengikuti ku seperti penguntit hingga tiba di tempat L dan masuk ke kamar L. Aku minta maaf atas kecerobohanku Max, Ellena”, jawab Maddie menjelaskan dengan nadanya yang purau, terdengar seperti seseorang yang bersalah setiap kata yang dia keluarkan.

Ellena hanya terdiam. Dia tidak tahu maksud pembicaraan kedua temannya ini. Max pun ikut terdiam setelah mendengar penjelasan Maddie. Memang, Meghan tidak kenal putus asa untuk mendapatkan hati Max.

Semakin Max menjauhinya, semakin bersemangat dia mengejar Max. Max tidak terlalu suka sikap Meghan yang angkuh dan merendahkan orang mengenai hal materi. Namun tetap saja banyak orang yang mengagumi dan menyeganinya karena kecantikan dan jabatannya sebagai sekretaris klub festival mahasiswa.

Max juga mengakui bahwa Meghan cantik. Namun tingkah laku yang dia punya tak sebanding dengan kecantikan yang dia punya. Itulah salah satu hal yang membuat Max tak ingin menetapkan hatinya pada Meghan.

“Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Ellena setelah dia semakin tak tahan melihat kedua temannya membicarakan hal yang tak dia mengerti namun merasa bahwa dia terlibat di pembicaraan tersebut.

“Kemarin Meghan ke tempatmu bersama Maddie untuk mengambil buku Maddie tang tertinggal di kamarmu dan dia tau bahwa aku sedang ada disana, di kamarmu, bersamamu”, jawab Max.

“Jadi ini masalahnya, pantas saja dia seperti itu kepadaku. Max, harusnya kau bersama dia,” ucap L.

“Aku tak mau, aku tak suka dengannya”, jawab Max menegaskan.

“Ah jangan seperti itu, omonganmu bisa menjadi senjatamu sendiri lo” goda L.

“Ih kalo aku tidak suka, ya tidak suka. Aku tidak selabil dirimu, Ellena”, jawab Max sebal. Ellena tertawa melihat ekspresi Max.

“L kau taka pa?” Maddie merasa ada yang salah dengan temannya.

“Aku sudah tak apa, hidungku sudah mendingan. Hanya saja temanmu satu ini sepertinya yang perlu kau tanyakan,” L menjawab sambil menunjuk kea rah Max.

“Dasar gadis aneh,” ucap Max lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

“Kau terlihat malah senang setelah kejadian tadi L, aku heran denganmu” kata Maddie sambil membenarkan duduknya.

“Ya seharusnya aku harus bagaimana? Hahaha toh hidungku sudah tidak apa-apa. Lagi pula, menggoda Max cukup membuatku senang haha. Asal kau tau saja ya, seorang Max yang cukup disegani sebagai ketua dari klub festival mahasiswa, takut dengan kegelapan, hahaha,” L tertawa mengingat kemarin malam saat lampu ruang tengah mati.

“Sungguh? Hahahaha lalu bagaimana ceritanya?” Maddie terlihat bersemangat menunggu cerita lengkapnya dari L.

Keduanya larut dalam cerita tersebut dan sesekali mereka tertawa, menertawai objek cerita itu, Max.

Elléna, are you ok? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang