M

16 2 0
                                    

Tempat ini sudah menjadi langganan bagi  ketiga anak manusia yang menjalin pertemanan selama masa kuliah. Mereka terlihat selalu mendatangi kafe ini untuk mengerjakan tugas bersama atau hanya untuk menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol ditemani  minuman. Namun tidak untuk hari ini. Kini dari tiga, hanya dua orang yang duduk di kursi yang biasa mereka gunakan. Seakan-akan kursi itu sudah terklaim menjadi milik mereka.

"Untung aku tidak telat," ucap L setelah meletakkan paper bag di atas meja. Dia memandang keluar jendela di sampingnya, menunggu seseorang itu. Beberapa menit kemudian orang itu datang. Lelaki yang dia tunggu. Namun pemandangan yang dia dapat lain. Lelaki itu bersama seorang perempuan. Samar-samar wajahnya dari samping, tak terlihat, tertutup oleh rambut coklat gelapnya yang dibiarkan tergerai. Perempuan itu entah mengapa membuat L iri karena mendapat pelukan hangat dari lelaki yang L tunggu saat ini.

"Kau sudah datang dari tadi?" Laki-laki itu sudah tepat duduk di depan L.

"Baru saja," jawab L tersenyum yang cukup menggantung.

"Kau sudah pesan? Aku akan memesankanmu," tanya Max dan bersiap berdiri, menuju kasir untuk memesan minum.

"Aku sudah pesan, terima kasih," jawab L masih dengan senyuman yang sama. Lelaki itu menganggung dan menuju kasir.

"Kau baik-baik saja?" tanya lelaki itu setelah kembali dari kasir.

"Entahlah Max, sebelumnya aku tidak baik-baik saja dan sekarang pun ku rasa masih seperti itu," jawab L pasrah.

"Kau ada masalah apa? Oiya tadi Maddie ku ajak kesini tak mau" tanya Max dan memberikan sebuah info.

"Itu masalahnya," jawab L semakin pasrah.

"Apa? Maddie?" tanya Max menebak-nebak. L hanya mengangguk, menanggapi Max.

"Bagaimana bisa terjadi?" tanya Max setelah meminum cappuccino pesanannya yang baru datang. Ellena menceritakan semuanya kepada Max, dengan sesekali mengaduk-aduk frape di depannya dengan sedotan. Ellena pun mengakhiri ceritanya dengan meminum habis frape itu. Dia tidak ingin menangis di depan Max.

"Oh jadi begitu," tanggapan Max datar. Ellena mendengar tanggapan itu hanya bisa mengernyitkan dahi, sudah sedetail itu dia menceritakan hanya dijawab oh saja, batin L.

"Tapi dia ada benarnya juga," tambah Max setelah memasukkan kentang goreng ke mulutnya. L langsung menatap Max dengan tatapan penuh tanya dan Max menangkap sinyal itu.

"Kau memang orang baik, tidak ingin merepotkan orang di sekitarmu bahkan kau mau direpotkan oleh orang lain. Kau tidak mau terlihat lemah dan mendapatkan iba dari temanmu. Tapi L, manusia tidak bisa hidup sendiri. Ada kalanya kau butuh bantuan orang lain. Pastinya kau juga memiliki masalah di hidupmu, berbagilah masalahmu dengan temanmu. Dengan begitu kau akan merasa lega. Tidak menumpuk menjadi bebanmu sendiri dan menampakkan raut wajahmu yang sedih. Wajahmu tidak dapat membohongi dirimu sendiri di depan orang lain. Selain itu, dengan saling berbagi saat senang dan susah kepada teman, mereka akan merasa bahwa saling ada kepercayaan satu sama lain. Coba pikirkanlah," Max menjelaskan dengan lembut.

L masih mencoba memikirkan semua perkataan Max baru saja dengan sesekali dia mengaduk-aduk gelas frapenya yang sudah tak berisi. Memang benar apa yang dikatakan kedua temannya itu mengenai dirinya, namun entah mengapa dalam diriL masih penolakan terhadap pendapat kedua temannya itu.

Max yang memperhatikan temannya itu muncul rasa sedikit gelisah dalam dirinya.

"Apa kau baik-baik saja sekarang L? Apa kau sudah merasa lega? Maaf, bukanya aku membela Maddie, tapi ..." 

"Aku tak apa-apa, Max. Aku sudah merasa lega, bisa menceritakan ini padamu. Terima kasih," ucap L terlihat tulus.

"Apa kau tidak menceritakan pada orang tuamu?" tanya Max penasaran.

"Uhhmm tidak, aku tidak ingin merepotkan ibuku," L menggelengkan kepala sambil menunduk. Membayangkan masa dimana L selalu mengeluh kepada orang tuanya karena masalahnya. Dia tak mau kembali seperti itu lagi, selalu mengeluh kepada orang sekitarnya.

"Selalu saja kau seperti itu. Cobalah untuk lebih terbuka terhadap orang di sekitarmu, terlebih pada teman dan orang tuamu," kata Max. Ellena hanya menganggukkan kepalanya.

"Kau akhir-akhir ini terlihat sibuk," L mencoba mengganti topik pembicaraan untuk memecah suasana yang ada.

"Hehe iya, bertemu dengan mitra ayahku, untuk pekerjaan," senyum Max. Oh senyum itu, Ellena menunggu untuk senyuman itu.

"Kau sangat visioner dalam hal karir ya," ucap L dengan nada sedikit bercanda khasnya.

"Begitulah hehe lagi pula seseorang yang ku tunggu malahan sedang mencoba dekat dengan sahabat kecilku," tatapan Max tak seperti biasanya, tatapan menuduh ditujukan pada L.

"Aku tidak dekat dengan James," seseorang merasa tertangkap basah. Ya, orang itu adalah L, Ellena.

"Aku hanya menemaninya untuk membelikan kado untuk kakaknya," tambah L. Nada bicaranya seperti pelaku yang tertangkap.

"Ohh kau merasa, baguslah. Mau bercerita seperti apalagi, hmm?" tantang Max.

"Aku tidak seperti itu, Max. Hanya sekali itu kami pergi berdua. Ku kira kau juga datang di ulang tahun kakaknya, mengingat kau sahabatnya," kata L.

"Entahlah. Kau hati-hati saja dengan bocah itu. Ternyata masih saja dia seperti itu, ck," ucap Max sedikit geram.

"Memangnya James kenapa?" tanya L penuh rasa penasaran. Bukankah James selama ini yang dia kenal adalah anak yang baik meskipun sedikit bossy.

"Ah sudahlah yang penting kau harus berhati-hati dengannya," ucapan max cukup tegas.

Namun rasa penasaran L cukup kuat sehingga ketegasan Max dapat tertolak. "Kau iri dengannya?" tanya L cukup tegas. Dia merasa tidak mau jika bosnya disalahkan, James.

"Apa maksudmu? Mengapa kau jadi seperti ini Ellena?" Max cukup kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan L, tidak seperti L biasanya yang selalu menurutinya.

"Aku cuma bertanya," jawab L tegas.

"Sudahlah L, aku tidak ingin mempermasalahkan ini terlalu jauh hingga kita menjadi bertengkar. ingat saja pesanku tadi, berhati-hatilah. Aku pergi dulu. Aku tidak ingin marah dengamu," Max seketika beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Ellena.

Pancake pisang yang sudah mulai dingin tak tersampaikan pada orang yang dimaksud. Hanya pertanyaan sepele dapat mengubah hati seseorang. Kini hanya pancake pisang dan si pembuat yang berada di meja itu sebelum akhirnya si pembuat pergi begitu saja dengan ego yang masih menguat dalam dirinya.

Elléna, are you ok? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang