O

15 1 0
                                    

Sudah hampir seminggu ini, pimpinan toko dipegang oleh James. Suasana toko tak lagi seperti dulu, penuh kejutan yang diberikan Pak Joe. Namun sekarang sudah berbeda. Suasana menjadi sunyi, memang benar lebih banyak pelanggan yang datang karena menu baru selalu ada setiap dua hari sekali.

Tapi dibalik banyaknya pelanggan, ada tekanan sendiri dalam diri masing-masing staff. Mereka tak tahu harus bagaimana. Berbuat sesuatu sedikit pun yang melenceng dari aturan baru, pekerkaanlah taruhannya, berhenti atau tetap di toko.

Begitu juga dengan L, dia tidak lagi semangat seperti dulu dalam bekerja. Dia sekarang datang ke toko tepat waktu, tidak seperti dulu yang selalu datang 30 menit lebih awal dari pergantian shiftnya. Rasanya malas saja melakukan pekerjaan yang disukai tapi merasa terkekang, begitu perasaan L saat ini.

"Kau hampir saja telat lagi," ucap Sarah saat melihat L memasuki ruang staff untuk mengambil seragamnya.

"Aku sudah tidak bersemangat lagi bekerja seperi ini," jawab L dengan wajahnya yang datar.

"Jangan pasang wajah seperti itu di depan, bisa-bisa kau kena lagi," Sarah mendekati L untuk merapikan rambut L yang berantakan di mukanya.

L hanya tersenyum, "Kau tidak capek berpura-pura terus Sarah?" tanya L setelah Sarah selesai merapikan rambutnya.

"Bagaimana lagi, pekerjaan inilah yang membuatku hidup hingga saat ini," jawab Sarah pasrah.

"Hey kalian, jangan mengobrol saja. Sudah banyak pelanggan yang menunggu pesanannya," tiba-tiba James membuka pintu ruang staff.

"Baik Pak," jawab Sarah pelan. Mereka berdua segera menuju dapur untuk mengambilkan mengantarkan pesanan para pelanggan.

"Satu croissant, satu pretzel, satu cappucino, dan satu vanilla latte," L meletakkan pesanan itu di atas meja nomor 5 dan menyebutkannya satu satu, barangkali ada pesanan yang kurang atau salah.

"Max?" ucap L lirih namun masih terdengar nada kagetnya oleh Max, setelah selesai meletakkan pesanan di meja Max.

Max bersikap tenang walaupun rasanya dia tidak bisa menahan rindu, sudah hampir seminggu tak bertemu temannya yang satu ini.

"Terima kasih!" ucap perempuan yang duduk semeja dengan Max. L hanya tersenyum canggung menanggapinya.

"Kau kenapa?" tanya Sarah pada L ketika L memasuki dapur dengan wajah muram.

"Tidak ada apa-apa, it's all good," L mencoba tersenyum setelah menjawab pertanyaan Sarah.

"Tidak, kau terlihat berbeda. Apa gara-gara pasangan itu memarahi mu karena pesanannya kurang memuaskan?" Sarah mendekati L dan mengusap-usap bahunya.

"Tidak. Mereka menikmatinya," L melihat pasangan tersebut cukup hangat, menikmati roti mereka.

"Aku hanya saja tidak terbiasa melihat laki-laki itu bersama perempuan lain, kecuali aku dan temanku. Entahlah hubungan kami bertiga sekarang kacau hanya karena emosiku yang tak terkontrol," akhirnya L mengeluarkan isi hatinya. Dia tidak bisa berbohong.

Sarah segera memerangkul L, menenangkan L.

"Kalau kau ada apa-apa, cerita saja. Aku siap mendengarkan mu," Sarah mencoba menenangkan L. "Kau tidak boleh menangis di tempat kerja," tambahnya.

Segera L menarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan. Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Hingga Geace membalikkan tubuhnya untuk memanggil L melalui jendela kasir yang terhubung dengan dapur.

"Ellena, ada yang mencarimu," kata Grace.

Ellena segera keluar dari dapur setelah itu dan menuju ke bagian kasir. Pasangan itu ada disana, Max dan perempuan itu.

Ellena segera kembali ke dapur namun seseorang menghentikannya.

"L kau kenapa?" tanya Max dan berusaha menahan Ellena.

Ellena hanya diam dan berusaha melepas genggaman tangan Max pada lengannya.

"Aku tak tau isi pikiran dan hatimu, tapi aku merindukanmu," Max melanjutkan kata-katanya.

Ellena hanya terdiam. Dia tidak tau harus berkata apa. Genggaman Max semakin kuat memberikan instruksi agar L mengeluarkan suara, menanggapi Max.

"Lepaskan tanganmu dari pegawaiku!" James datang dari ruangannya.

Seketika Max dan L menoleh ke arah sumber suara tersebut.  Max secara spontan melepaskan tangannya.

"Jangan berbuat macam-macam dengan staff ku," ucap James.

"Kau sekarang bosnya? Ck lihat betapa muramnya wajah para staff mu," kata Max sambil melihat sekelilingnya.

"Kau tidak usah pura-pura peduli terhadap staff mu di depan pembeli," tambah Max.

"Hey apa urusanmu? Sudah seharusnya aku melindungi staff ku," ucap James dengan tegas.

"Melindungi? Huh bermuka dua," Max mengejek.

"Apa katamu?" James semakin panas dan mendekat ke Max.

"SUDAH HENTIKAN!" teriak L. Akhirnya dia bersuara.

"Ellena, kau berani ya berteriak dihadapanku. Kau tidak usah bekerja disini lagi!" James masih terbawa emosi.

"Apa? Bukan begitu maksud saya Pak. Tolong jangan..."

"Cepat keluar dari toko ku sekarang!" ucap James dengan nada keras.

Elléna tidak tau mengapa semuanya menjadi begini. Siapa sangka, insiden kecil tadi menyebabkannya dia dipecat. Ellena menangis sambil keluar membawa tasnya. Staff yang lain berusaha menenangkannya tapi L segera pergi dari mereka.

Max mengikuti L yang sudah berada di luar toko. Menangis sendirian di bawah lampu jalan.

"Sudah, biarkan dia menenangkan diri," cegah teman perempuannya.

Max hanya terdiam. Merasakan sedih melihat sahabatnya sendirian dalam keadaan yang rapuh. Dia ingin menenangkan sahabatnya itu, seperti dulu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Elléna, are you ok? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang