17

8.8K 998 116
                                    

(Namakamu) duduk di bangku penonton yang berada di dekat lapangan basket ini. Ia menggoyangkan kedua kakinya secara berlawanan sembari memakan eskrimnya dengan rambutnya ia ikat sembarangan.

Tak lupa ia menggoyangkan kepalanya seperti anak TK menikmati sebuah lagu di sekolahnya. (Namakamu) seperti anak kecil yang senang dengan makanannya. Kedua kaki (Namakamu) tidak sampai ke tanah, menggantung begitu imutnya.

Pipi (Namakamu) memerah karena terpaan sinar matahari yang semakin terik. (Namakamu) bukan perempuan yang takut akan kulitnya yang mencokelat, ia lebih suka mencokelatkan kulit daripada berdiam diri di rumah.

Ia asyik melihat para seniornya bermain basket dengan semangatnya. (Namakamu) suka melihat seperti itu. Apalagi jika sudah berantam! Jika bisa ia berteriak, ia akan berteriak,"ayo, berantam! Aku tidak suka melihat kalian rukun."

(Namakamu) membeli 3 eskrim sejak keluar dari kelas tadi, dan yang sekarang adalah eskrim ketiganya.

"Buah mengkudu makanannya Supri. Eh, lo anak monyet malah dimari." Alwan datang dengan pantunnya yang begitu absurd sama seperti wajahnya.

(Namakamu) yang mendengar itu seketika meludahi sisi tempat duduk yang kosong itu. Alwan yang hendak duduk di samping (Namakamu) pun menghentikan niatnya.

"Kok diludahi, sih? Gue mau duduk, (Namakamu)," protes Alwan sembari menatap (Namakamu) dengan kesal.

"Sono.. duduk di loteng sekolah. Datang-datang bukannya ngucap salam malah ngatain gue anak monyet. Bapak lo makan bubur pakai cangkul semen!" balas (Namakamu) sembari meleparkan Alwan dengan plastik berisi sampah eskrimnya.

Alwan tidak menghindar karena plastik itu tidak mungkin sakit dan sampai ke dirinya. Ia pun mengambil posisi duduknya tepat di hadapan (Namakamu) beralas tanah.

"Lah? Kenapa jadi bapak gue?" tanya Alwan sembari membuka bekal makanannya.

"Ya, karena bukan bapak gue," jawab (Namakamu) dengan santai.

Alwan hanya memutar kedua bola matanya dengan malas, lalu menyombongkan akan bekal yang ia bawa. (Namakamu) melihat itu.

"Sorry, untuk manusia yang jahanam seperti lo, tidak ada yang boleh menyentuhnya bahkan memintanya. Karena apa? Karena lo ngejek bokap gue makan bubur pakai cangkul semen, padahal bokap gue makan nasi uduk pakai sendok!" ucap Alwan sembari menyuap makanannya dengan menggoda (Namakamu).

(Namakamu) bersedekap dada sembari mengerucutkan bibirnya dengan imut. "Kan lo duluan ngejek gue anak monyet! Alwan!" pekik (Namakamu) dengan menggemaskan.

Alwan meringis mendengarnya, dan lagi pula ia juga tidak sejahat itu kepada sahabatnya ini. Dengan sendok yang penuh, ia menyuapi (Namakamu). Mulut (Namakamu) penuh, namun ia terlihat lucu.

"Satu suapan udah cukup buat lambung lo yang super kecil itu."

(Namakamu) mengunyah dengan pipinya yang merah, ia meminta minum kepada Alwan dengan satu tangan mungilnya yang terbuka.

"Apa?" tanya Alwan tidak mengerti.

(Namakamu) mempraktekan dirinya tengah minum.Alwan menggelengkan kepalanya. "Lupa bawa, beli sono!"

(Namakamu) meminta uang kepada Alwan, Alwan menggelengkan kembali kepalanya. "Ngemis! Kagak ada!"

Dan Alwan selalu pelit. (Namakamu) pun tegak, ia menendang kaki Alwan dengan kuat. Sendok Alwan yang berisi nasi jatuh tanpa ada sisa. (Namakamu) yang masih mengunyah pun segera berlari untuk menghindari teriakan Alwan.

"Memang sahabat gak tahu diri lo!" teriak Alwan yang tidak terdengar lagi.

(Namakamu) masih mengunyah akibat banyaknya yang diberi Alwan tadi. Ia berjalan menuju kantin sekolah untuk membeli minuman untuk dirinya dan Alwan.

(Namakamu) melihat ada seniornya, Iqbaal tengah berkumpul di bangku luar kantin sekolah itu dengan teman laki-lakinya itu. (Namakamu) tersenyum dengan ide briliannya.

(Namakamu) mengunyah cepat makanannya, lalu berjalan dengan sedikit melompat layaknya anak kecil. Kini ia sudah memasuki kawasan kantin sekolah dengan keadaan yang ramai penduduk sekolah. Inilah yang membuat dirinya malas untuk ke sini, terlalu banyak manusia di sini.

Iqbaal terlihat tertawa mendengar cerita teman-temannya yang terlihat berkelas dan mencuri perhatian siswi yang ada di sekolah ini. (Namakamu) juga menjadi pencuri, pencuri minuman. Nggak deng.. bohong.

(Namakamu) berjalan seakan-akan tidak melihat Iqbaal, ia menyampirkan rambut kecokelatannya itu ke belakang telinganya. Ia membuka kulkas khusus minuman itu berada di samping tempat tongkrongan Iqbaal.

Dan, gotcha! Seperti perkiraan (Namakamu) yang sangat tepat, Iqbaal kini mengalihkan perhatiannya kepada (Namakamu).

Iqbaal berdiri dari duduknya, dan menggantikan tangan (Namakamu) menjadi tangannya untuk menahan pintu kulkas itu.

Ia melihat gadis itu tengah memilih minuman. "Mau beli apa?" tanya Iqbaal dengan suara beratnya.

(Namakamu) ingin tertawa iblis, tetapi ia tengah dalam proses syuting film pendeknya. "Eh, Bang Iqbaal? Kok di sini?" tanya (Namakamu) pura-pura terkejut.

Iqbaal tersenyum manis kepada (Namakamu),"abang dari tadi duduk di sini. Ada kamu, abang ikut berdiri," jawab Iqbaal dengan lembut.

(Namakamu) pura-pura tersipu, ia dengan manjanya memukul lengan Iqbaal dengan lembut. Iqbaal semakin tersenyum melihat (Namakamu) malu-malu.

"Bisa aja, Abang. Jadi malu, deh.." Sumpah! Demi apapun yang ada di dunia ini, (Namakamu) ingin memuntahkan lahar panas karena ucapan menggelikannya ini.

Iqbaal mendekati (Namakamu) dengan senyumannya. "Makin cantik kalau malu," bisik Iqbaal dengan suara beratnya.

(Namakamu) mendorong pelan perut Iqbaal, Iqbaal ingin berlama-lama seperti ini. "Udah deh, Bang.. sana duduk lagi sama temannya. Nanti ditinggalin pula," balas (Namakamu) dengan suaranya yang ia buat imut.

"Tunggu kamu selesai beli minuman baru abang duduk," ucap Iqbaal dengan suara beratnya.

(Namakamu) mengambil empat minuman dingin, lalu hendak menutupnya tetapi Iqbaal terlebih dahulu menutupnya. (Namakamu) tersenyum berterima kasih, Iqbaal menatap wajah cantik itu dengan penuh arti.

"Aku mau bayar dulu ya, Bang. Makasih udah mau nahan pintu kulkasnya," balas (Namakamu) dengan lembut.

Iqbaal seketika menahan (Namakamu) yang hendak membayar minuman itu, (Namakamu) memberhentikan langkah kakinya. "Kamu bawa aja minumannya, nanti abang yang bayar," ucap Iqbaal dengan lembut.

"Ha? Nggak usah, Bang. (Namakamu) ada uang kok, nggak us—"

"Bu, minuman ini Iqbaal yang bayar, ya."

"Siap, Bos!"

Iqbaal kini menatap (Namakamu) kembali, (Namakamu) memeluk minumannya dengan imutnya. "Nanti (Namakamu) ganti deh." (Namakamu) berucap seakan-akan dirinya adalah manusia yang polos.

Iqbaal mendekati kepalanya ke telinga (Namakamu). "Gantinya, Abang telepon nanti malam, diangkat, ya," bisik Iqbaal dengan suara beratnya.

(Namakamu) kembali berpura-pura tersipu malu. Iqbaal tersenyum.

"Duluan ya, Bang. "

Iqbaal menganggukkan kepalanya sembari menatap kepergian gadis kecil itu. Hatinya terasa berbunga-bunga, jantungnya berdetak kuat, dan matanya tidak pernah lari dari gadis itu.

Ia merasa senang.

Dan lain dengan (Namakamu), ia merasa bahagia mendapatkan minuman gratis! Ia bangga dengan dirinya.

"Seru juga jadi cewek matre! Uang limpul gue utuh cuy!" gumam (Namakamu) bahagia.

**

Bersambung


hayuk! spam komentar

Bad Things (TOUCH LOVE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang