59

4.7K 483 130
                                    

Alwan melihat jam di pergelangan tangannya, bel untuk masuk ke kelas sebentar lagi. Alwan menghabiskan minumannya, lalu berdiri untuk membayar minumannya.

"Hai, Alwan."

Alwan yang hendak membayar minumannya pun terhenti, ia membalikkan badannya ke arah sumber suara itu. Leonni menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya ia bawa ke belakang punggungnya, dan terlihat malu-malu.

Alwan memandang Leonni dengan sedikit heran, tetapi tetap menyunggingkan senyumannya. "Ya, kenapa, Kak?" tanya Alwan dengan suaranya yang terdengar berat.

Leonni memberi sebuah cokelat ke Alwan, Alwan menatap Leonni dengan kepalanya sedikit ia miringkan. "Untuk gue?" tanya Alwan memastikan.

Leonni menganggukkan kepalanya dengan malu-malu. Alwan membuka bungkus cokelat itu tepat di hadapan Leonni, Leonni pun menatap Alwan yang kini kedua mata Alwan menatapnya dengan serius.

Leonni melihat Alwan memakan cokelat itu dengan jantugnya berdetak sedikit cepat.

"Manisnya sama ternyata," gumam Alwan sembari menatap Leonni dengan dalam.

Leonni terpana. Alwan menyunggingkan senyuman kecilnya, "mau?" tawari Alwan sembari mengusap sudut bibirnya yang ia rasa ada cokelat.

Leonni menggerjapkan kedua matanya,"itu untuk lo kok," balas Leonni dengan gugup.

Alwan mengangkat kedua bahunya dengan tenang, lalu kembali memakan cokelatnya. "Terima kasih cokelatnya, Kak. Besok-besok nggak usah kasih cokelat, cukup lihat kakak senyum, itu lebih dari cokelat." Alwan membalikkan badannya dan menuju kasir kantin, lalu meninggalkan Leonni menatapnya terpaku.

Leonni sudah tidak dapat lagi berkata-kata, ia terlampau gugup dan jantungnya berdetak kencang.

"Gue jatuh cinta."

**

(Namakamu) berjalan menuju lapangan basket, ia hendak ke ruang guru untuk mengambil sesuatu di sana.

Angin siang menyambut kehadirannya, terik matahari semakin terpancar terang, dan (Namakamu) tetap berjalan sendiri.

(Namakamu) jelas melihat seorang ketua osis sekolahnya tengah bermain dengan bola basketnya, memakai seragam putih abu-abunya di tengah terik matahari siang ini. Iqbaal dengan style bajunya yang tidak masuk ke dalam celana, memakai dasinya, dan rambut hitamnya yang membuat dirinya semakin menarik untuk dilihat.

Ia terlihat sendiri di lapangan dengan wajahnya yang tidak menunjukkan kebahagiaan. (Namakamu) memasuki area tengah lapangan itu, dan Iqbaal melihat kekasihnya berjalan. Iqbaal men-dribble bola basketnya dengan tatapannya ke arah (Namakamu).

"(Namakamu) Agatha," panggil Iqbaal dengan suara beratnya.

(Namakamu) menghentikan langkah kakinya, tetapi badannya tetap membelakangi Iqbaal.

"Menghindar lagi?" Iqbaal menatap punggung gadis itu dengan rasa rindunya."Mana sopan santun kamu, (Namakamu)? Lihat aku!" Iqbaal bersuara dengan tegas.

(Namakamu) mengepalkan tangan kecilnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Iqbaal, dan akhirnya untuk pertama kali, mereka saling bertatapan dengan jarak yang sedikit jauh.

Di tengah lapangan basket yang luas ini, terik matahari semakin terpancar dengan panasnya, mereka berdiri di bawah sang langit sebagai saksinya.

Iqbaal menatap kekasihnya dengan tatapan yang sulit untuk dimengerti."Aku senior, dan kamu junior. Mana rasa hormat kamu ke aku?"

(Namakamu) hanya menatap Iqbaal tanpa sepatah kata, Iqbaal ingin berlari ke sana dan menyatakan rasa rindunya, tetapi ia menahan itu, ia menyisir rambutnya ke belakang dan membasahi bibir bawahnya.

"Maaf," balas (Namakamu) dengan pelan.

Iqbaal menghembuskan napasnya dengan berat, bola basket itu ia biarkan begitu saja menggelinding ke lapangan yang luas itu. Angin sepoi itu memberantaki rambut Iqbaal, Iqbaal menatap (Namakamu) dengan tidak mengerti lagi.

"Bukan itu yang aku mau, (Namakamu). Bukan ucapan itu," ucap Iqbaal dengan suara beratnya.

Iqbaal menatap (Namakamu) yang hanya diam di ujung sana, tidak ada lagi respon darinya. Ia lelah, lelah dengan rasa yang ia tahan ini. Iqbaal pun pergi meninggalkan (Namakamu) dengan sesak di dadanya.

(Namakamu) menatap punggung itu, lalu ia membalikkan badannya namun air matanya jatuh, sejak tadi ia menahannya. "Aku nggak mau nama kamu rusak di hadapan mereka hanya karena aku yang tidak tahu diri ini," bisik (Namakamu) dengan tangisan yang ia tahan.

(Namakamu) mengusap air matanya dengan langkah kakinya.

**

"Mau tahu, apa yang dapat membunuh orang dengan sangat menderita?"

"Apa?"

"Hancurkan mentalnya."

**

Iqbaal dengan seragam putih abu-abunya yang tidak rapi, dasinya yang tidak dipasang dengan rapi, lalu rambutnya yang berantakan. Ia menatap Aldi dengan tatapan dinginnya.

"Apa yang lo dapat?" tanya Iqbaal dengan suaranya yang terdengar berat dan serius.

Aldi menyandarkan tubuhnya di suatu dinding dekat dengannya, ia bersedekap dada sembari menatap Iqbaal dengan serius."Ada yang mengancam anggota jurnalis itu, jika tidak dituruti, mereka yang habis."

Iqbaal mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras, tatapannya tajam seperti hendak merobek sesuatu di hadapannya.

"Jangan gunakan kekuasaan lo saat ini, Baal." Aldi mulai memperingati Iqbaal.

Iqbaal pun kini menatap Aldi dengan dingin, "itu hak gue!"

"Lo nggak bisa. (Namakamu) bisa di blacklist dari sekolah mana pun! Berita yang ada selama ini, akan tersebar begitu saja! Jangan egois!" Aldi menatap Iqbaal yang terlihat emosi, "posisi (Namakamu) saat ini terancam. Lo nekat, dia yang akan susah untuk sekolah!"

Iqbaal menendang meja di dekatnya dengan kuat, napasnya memburu karena emosinya.

Aldi hanya diam menatap Iqbaal yang dikuasai emosi.

**

Alwan menatap cokelat itu, ia menjatuhkan cokelat itu ke tanah, lalu ia injak dengan kakinya. Ia mengusap mulutnya dengan kasar, lalu meludah ke tanah itu. Alwan membenci pemberian itu.

Ia membuka ponselnya lagi, dan membaca berita (Namakamu) kembali namanya dibuat jelek. Alwan benar-benar muak dengan pemberitaan ini.

Alwan dengan rahangnya yang mengeras menahan amarahnya, ia memasukkan kembali ponselnya. "Gue bisa bikin lo mati karena hati lo sendiri," gumam Alwan dengan penuh kebencian.

Alwan menyunggingkan senyuman mematikannya.

**

Leonni tersenyum saat duduk di dalam kelasnya, ia kembali merasakan hari-harinya berwarna karena ada sesuatu yang membuatnya semangat.

"Lo pintar juga, Leon."

Leonni tersenyum dengan senangnya saat temannya memuji dirinya. "Apa gue bilang, orang kaya (Namakamu) itu nggak bisa dilawan dengan fisik, kita pasti kalah. Harus pakai otak, biar dia mati perlahan-lahan. Serang mentalnya, bisa bikin dia menderita," ucap Leonni dengan bahagianya.

Rival menganggukkan kepalanya, ia menyetujui semua perkataan Leonni. "By the way, gue liat beberapa minggu belakangan ini, lo senang banget. Kenapa?" tanya Rival dengan sedikit penasaran.

Leonni kembali membayangkan kejadian tempo lalu bersama Alwan. "Ada yang buat semangat untuk sekolah di sini, Val," jawab Leonni dengan senangnya.

Rival hanya menggelengkan kepalanya, "hati-hati, nanti patah hati akan lebih sakit."

Leonni berdecak kecil, "laki-laki mana yang mau nyakitin gue, Val. Nggak akan ada."

"Hati-hati aja."

Leonni menatap tidak suka ke arah Rival, lalu mulai mempersiapkan buku-bukunya.

**

Bersambung

Part akhir akan di up hari ini. Minimal comment 80

Bad Things (TOUCH LOVE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang