Ini adalah hari paling bersejarah dalam hidupnya.Tidak pernah sekalipun Gaby merasakan kegugupan yang sangat luar biasa seperti hari ini. Meskipun tidak dipungkiri kalau ia juga pernah mempunyai perasaan gugup seprti ini, itu sudah sangat lama sekitar tujuh tahun yang lalu. Saat kelas empat dulu ia pernah ikut lomba menulis cerpen tingkat nasional dan kalah.
Dan itu sudah sangat lama sejak ia merasa gugup seluar biasa ini, dan bahkan ini terasa lebih hebat daripada lomba cerpen itu.
"Lucas gue tau ini gila tapi gue suka sama lo, lo nggak perlu jadi pacar gue tapi pacar gue temen jadilah gue. " Gaby terdiam. "APAAN SIH GUE! "
Ia memukul-mukul mulutnya jengkel sambil mengumpat, mengumpati dirinya yang tak bisa berbicara dengan lancar saat sedang gugup. "Kenapa gue nggak bisa ngomong ; Lo nggak perlu jadi pacar gue tapi gue harap lo masih mau nerima gue sebagai sahabat lo. Why nggak bsia ngomong kayak gitu aja?! "
"Lo juga berani banget nembak cowok kayak Lucas yang perasaannya nggak tau kayak mana. Bisa-bisa lo malah ngajak perang lo sama dia. " Rose mengomentari tingkah Gaby yang seerti orang gila saat ini.
Rose memeriksa kuku-kukunya dan meniup kuku kanannya seolah ada debu menempel disana. "Mudah-mudahan Lucas nggak jijik sama lo ya habis lo nembak dia. "
"Iih lo mah jangan bikin gue down dong kampret. Lo pikir ngomong I Love You ke lawan jenis itu segampang kita ngumpil ditempat umum. Enggaklah! Bahkan beribu-ribu jauh lebih susah daripada yang lo kira. "
Gaby membuka laci pada meja riasnya yang dipenuhi dengan peralatan make-up dan mengambil kotak berwarna biru dengan aksen pita pada tutupnya.
Ia mengambil sebuah jepitan berwarna hitam tanpa hiasan apapun pada jepitan itu. Gaby merekatkan jepitan itu pada rambut depannya serapi mungkin.
"Oke Gaby, you look perfect dan jangan lupa untuk pamerkan gigimu. "
"Lo pikir ini tahun berapa Gab masih zaman nembak orang pake senyum gigi putih cemerlang. Lo mau Lucas mikir apa ke lo? " tembak Rose langsung mengenai dada Gaby. Gadis itu merengut sedih kalau rencana memamerkan gigi putihnya gagal.
Rose menepuk bahu Gaby penuh tekad. "Tenang aja Gab, gue bakal bantuin lo untuk nembak Lucas hari ini. Seengaknya lo udah berani ngungkapin perasaan lo yang sebenarnya sama Luke. " kemudian Rose tersenyum lebar kepada Gaby. "Karena lo adalah sahabat gue dan gue berhak bantu lo disetiap kondisi hidup lo yang buat lo sedih. "
***
Ia tidak tahu bagaimana ia akan menembak Lucas nanti. Yang harus ia lakukan hanyalah mengungkapkan perasaannya dan bersikap sedewasa mungkin-menerima keputusan sahabatnya itu.
Mungkin alasannya kekanak-kanakkan, ia takut kalau ia bertahan lebih lama lagi, maka Lucas akan dimiliki oleh orang lain. Contohnya Niana.
"Jadi karena perempuan bernama Niana yang cantiknya keterlaluan itu? Seriously? " Rose membelak tidak percaya pada Gaby yang kini tengah menunduk lesu dihadapannya.
Gaby mengehela nafas. "Lo nggak tau gimana paniknya gue waktu lo bilang kalo Niana udah mulai start nya. Gue kepikiran terus Rose. "
Gaby mengangkat kepalanya yang kemudian menatap lurus kedepan seperti menerawang. "Terus juga waktu kemaren gue mau kekelasnya Lucas gue denger dari adek kelas kalo Niana jalan sama laki-laki di mall masih pake seragam sekolah. "
Rose mencebikkan bibirnya. "Lo pikir itu Lucas? " Gaby mengangguk. "YA AMPUN GEMBROT DARI MANA LO TAU KALO ITU LUCAS! BISA AJA ITU KAKAKNYA ATAU OPUNG*NYA SEKALIPUN! LO NGGAK BISA NYIMPULIN GITU AJA KALO ITU LUCAS! "
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Dream (Selesai)
Short StoryKalau anak-anak baru pasti memiliki tingkah malu-malu atau memiliki tingkah yang introvert dan sulit untuk didekati karena masih berstatus anak baru. Tapi hal ini tidak berlaku untuk seorang Niana Marco. Aku memang belum pernah berbicara dengan Nia...