Berkomunikasi dengan orang yang tak dikenalnya adalah sesuatu yang sangat sulit ia lakukan. Seperti saat ini, Rindu sudah menghabiskan waktu lebih dari lima belas menit untuk berkeliling hanya untuk mencari perpustakaan sekolah, daripada harus bertanya kepada orang yang sama sekali tak Rindu kenali.
Selepas pelajaran Geografi siang ini, yang menjadi pelajaran penutup dihari pertama Rindu sekolah, Pak Wijaya -nama Guru Geografi dikelasnya- meminta siswa meminjam buku diperpustakaan, kemudian menjawab soal yang ada disana. Tapi yang sangat disayangkan, Rindu lupa bertanya kepada Ibu Guru yang mengantarnya tadi memperkenalkan diri dimana letak perpustakaan sekolah.
Malu bertanya, sesat dijalan sepertinya memang cocok sekali untuk menampar keadaan Rindu saat ini.
Jadi inilah akibatnya, ia berakhir dilantai tiga, lantai teratas di sekolah barunya, dengan tekad yang sudah mulai putus asa dan memilih untuk meyerah saja, urusan meminjam buku, itu bisa dilakukan besok hari.
Baru saja Rindu hendak melangkahkan kakinya kembali ke lantai dua, ekor mata Rindu tak sengaja menangap sebuah tangga kotor tak terawat di pojok bangunan, tangga itu tersembunyi, sehingga orang-orang tak akan menyadari keberadaanya jika tak mengamati secara intens.
Rindu menatap keadaan sekitar, hanya ada satu-dua orang saja yang tengah berjalan menuju tangga yang membawa mereka ke lantai bawah.
Perpustakaan nggak mungkin ada disana, kan?Rindu menelan ludahnya sedikit gugup. Apa ia harus mencobanya?
Rindu menggeleng mantap. Ia tak mungkin kesana dengan keadaan tangganya saja yang tidak memungkinkan. Rindu juga tidak tahu apa yang ada diatas sana, bisa saja itu adalah ruang rahasia? Atau justru markas geng di sekolahnya?
Sekali lagi Rindu menggeleng, namun kakinya melangkah mendekati anak tangga. Rindu benar-benar menaiki tangganya.
Sinar mentari menyilaukan pandangannya sekejap. Ini bukan markas geng atau tempat menyeramkan apapun yang sempat hinggap dikepala mungil Rindu. Ini tempat yang menakjubkan. Ini benar-benar indah.
Tempat ini sangat luas. Ada tembok pembatas didepannya sekitar setinggi perut rindu. Ditengahnya terdapat bangku kayu panjang yang muat hingga tiga sampai empat orang.
Namun yang paling mencuri perhatian Rindu ialah, sebuah kain kanvas yang dijepit oleh easel dan berbagai macam cat serta sebuah palet disekitarnya. Ini peralatan melukis, kan?
Rindu mendekati kanvas tersebut, kain itu masih bersih, belum ada gambar apapun yang tertuang disana. Ini...milik siapa?
"Tempat ini nggak bisa seenaknya dikunjungi orang, Lo siapa?"
Rindu terkesiap hingga tak sengaja menjatuhkan kanvas dan cat yang ada di depannya. Jantungnya berdegup liar, tak menyangka ditempat ini ada orang lain selain dirinya. Rindu berjongkok, mencoba meraih kanvas dan cat yang isinya sudah tercecer mengenai lantai dibawahnya. Tangannya bergetar serta banyak dipenuhi noda cat akibat ulahnya sendiri.
"Gue tanya, Lo siapa?"
Orang itu semakin dekat dengan Rindu, kali ini pria itu persis berada dihadapannya, menjulang tinggi didepannya dan membuat tempat pijakannya sedikit gelap sebab menghalangi sinar matahari.
Rindu berdiri dengan ragu, telapak tangannya penuh beragam warna dari cat, sedangkan tangan kananya mencekal kain kanvas dan easel agar tidak jatuh.
"mm-maaf, s-saya nggak sengaja" Rindu masih menundukkan wajahnya, tak berani menatap mata milik pria jangkung dihadapannya. Bagaimana jika orang ini marah? Atau memukulku?
Rindu menggigit bibir bawahnya takut, keringat dingin mulai menghiasi dahi putihnya. Ia benar-benar takut. lututnya lemas, tangannya bergetar. Ia selalu seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu untuk Bara
Ficção Adolescente"Semenjak semesta menampar telak dengan kenyataan, bahagia seakan terlalu mewah untuk dirasakan" Restafala Bara, pria kelam nan misterius yang hanya memiliki 3 hal dalam kamusnya; kelam, sepi, sendiri. Ia tak pernah memiliki siapapun pun untuk berba...