Ranu meletakkan kantong kresek berisi makanan sesuai pesananan Bara diatas meja portable didepan pria yang kini tengah berkutat anteng dengan handphonenya. "Nih. Ayam goreng, Ayam bakar, Ayam penyet dan berbagai macam ayam lainnya yang lo pesen. Buruan makan."
Bara meletakkan ponselnya diatas nakas, kemudian bangkit duduk dari posisi berbaringya. Ia mengubek-ngubek kantong kresek dihadapannya, mencari sesuatu. "Sodanya mana?"
Ranu menggeleng tegas, "Nggak ada soda-sodaan. Lo makan, habis itu minum obat. Tidur."
Bara memberenggut kesal, tapi tak bisa melakukan apa-apa selain menuruti Ranu untuk makan. "Piringnya disana, mau lo yang ambil atau gue?"
Ranu yang hendak menghempaskan tubuhnya disofa empuk sisi ruangan harus kembali menahan hasratnya demi mendengar satu permintaan tidak langsung ditelinganya. Ia mendekati satu meja kecil disisi ruangan yang lain, membawa satu piring bersih dari sana.
"Sendoknya, sekalian." Ranu menghela nafas kesal namun tetap mengambil sendok seperti permintaan Bara.
"Ini cuma sekali ya, Bar. Besok-besok lo harus makan apapun yang dikasih dokter. Gue nggak mau tahu." Kali ini Ranu menyiapkan makanan Bara diatas meja portable dihadapannya, sedangkan Bara hanya mengangguk-angguk tak perduli sebagai tanggapan.
Setelah memastikan selesai dan siap Bara makan, Ranu kembali mendekati sofa empuk yang sedari tadi menjadi magnet kuat yang menariknya. Kemudian dia benar-benar menghempaskan tubuhnya kasar. Ia lelah. Jalanan ibu kota benar-benar padat dilalui. Belum lagi ia menggunakan mobil yang lebih sulit bergerak dibanding kendaraan kecil lainnya. Bahkan seragam sekolahnya saja belum sempat ia ganti.
Ranu tadi sudah menghubungi Renita untuk membuat alasan kerja kelompok yang dapat menyelamatkannya dari kecurigaan ibunya itu yang mungkin saja dilayangkan padanya karena sudah hampir malam dan Ranu belum juga pulang. Untung saja Renita percaya dan tidak bertanya lebih lanjut.
"Lo kapan pulang? Udah mau malem." Bara bertanya sebelum menyuapkan satu sendok penuh nasi kedalam mulutnya.
"Beres lo makan gue pulang. Ngambil baju dan perlengkapan lo, terus balik lagi."
Bara menggeleng tidak setuju. "Nyokap lo pasti marah kalau tahu. Lo pulang aja, gue bisa sendiri."
"Apanya yang bisa sendiri? Ngambil piring aja lo nyuruh gue." Ranu mengeluarkan ponselnya dari saku celana, mengetikan sesuatu disana dan menaruhnya diatas meja.
"Gue serius. Lo pulang aja, Ran."
Ranu menutup matanya dengan lengan, kemudian bergumam singkat. "Berisik ah"Bara memandang Ranu yang mungkin tengah terlelap diatas sofa. Bibirnya menyunggingkan senyum tulus. Kadang kekeras kepalaan Ranu dapat membuatnya bersyukur.
"Nggak usah lihatin gue gitu. Gue masih normal."
Bara tertawa mendengarnya, Ranu memang memiliki indera keenam. Atau mungkin ketujuh? Pria itu selalu tahu apapun yang ada dalam benak Bara. Benar-benar saudara yang baik.
****
"Gimana, Pah?" Wira meletakkan telunjuknya didepan bibir, memberi kode Ranu untuk mengecilkan suaranya.
Saat ini mereka berdua tengah berada di halaman rumah Wira, Ranu sengaja memarkirkan mobilnya lebih jauh agar Renita tidak dapat mendengar deru mesinnya. Jika ibunya tahu Ranu pulang, akan susah sekali untuk Ranu dapat keluar rumah lagi. itu sebabnya, dia meminta Wira agar membantunya menyelinap masuk ke rumah diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu untuk Bara
Novela Juvenil"Semenjak semesta menampar telak dengan kenyataan, bahagia seakan terlalu mewah untuk dirasakan" Restafala Bara, pria kelam nan misterius yang hanya memiliki 3 hal dalam kamusnya; kelam, sepi, sendiri. Ia tak pernah memiliki siapapun pun untuk berba...