dua belas ; serpihan ingatan

43 7 2
                                    

"Pingsan?!"

Rindu mengangguk ragu. Setelah memutari mall beberapa jam, Raya menjatuhkan pilihannya pada miniature motor besar sebagai kado kakaknya. Sebelum pulang, mereka memutuskan untuk mampir di Leyra Café hanya untuk menikmati berbagai macam minuman dan makanan yang Raya jamin akan membuat Rindu ketagihan.

"Terus lo ngapain?" Raya kembali bertanya perihal kejadian kemarin yang membuat sahabat barunya itu pulang hingga sore sekali.

"Saya... menghubungi Ranu lewat handphone Bara dan ikut ke rumah sakit."

Raya menyedot choco mint splash dihadapannya dengan kuat, semakin tertarik dengan apa saja yang keluar dari mulut gadis dihadapannya. " Maksud lo Ranu Putra Adyaksa?"

Rindu mengernyit sebentar, ia tidak tahu. Nama kontak dalam handphonenya Bara hanya Ranu, tanpa embel-embel nama lengkap apapun. "Kayaknya...gitu. Emangnya Ranu itu siapa?"

Ingatan tentang Ranu yang memanggil Pria paruh baya kemarin dengan sebutan Papa, lalu Bara yang juga sempat pria itu tegaskan bahwa ia ayahnya adalah hal yang tidak mudah Rindu cerna. Apakah mungkin itu artinya... Ranu dan Bara memiliki ayah yang sama? Tapi jika iya, kenapa Sikap Bara justru sangat aneh pada ayahnya sendiri? Ada sorot kemarahan acap kali Bara memandang Pria dewasa itu.

"Ranu teman Bara, gue juga nggak paham kenapa Bara temannya cuma Ranu. Dia tertutup, seolah ada tembok besar yang menghalangi orang itu buat bersosialisasi."

Raya bahkan tidak tahu bahwa Bara dan Ranu tenyata saudara. Mungkin, seantero sekolah tidak juga ada yang tahu tentang hubungan mereka berdua seperti apa. Tapi kenapa? Kenapa kenyataan ini harus dibungkam rapat-rapat dari khalayak umum?

"Dan lo tahu, Rin, siapa itu Ranu?" Raya mencondongkan tubuhnya kedepan, kearah Rindu. "Anak pemilik sekolah, Pak Wira Adyaksa."

Anak pemilik sekolah? itu berarti, Bara juga anak pemilik sekolah?

Fakta mengenai seluruh cerita Bara yang ia dapat dari Raya, tentang Bara yang diberi area rootop secara cuma-cuma hingga sikap tak sopan yang Bara berikan pada pemilik sekolah, semuanya seakan masuk akal bagi Rindu. Ia mengerti mengapa pemilik sekolah memberikan akses bebas bagi Bara, alasannya tentu saja karena Bara putranya. Lalu alasan mengapa diantara ratusan bahkan ribuan siswa di SMA Bakti Jaya ini Bara hanya dekat dengan Ranu, tentu saja karena Ranu adalah saudaranya sendiri.

Namun yang paling sulit Rindu pecahkan, mengapa Bara tidak menyukai ayahnya?
Ia melihat langsung bagaimana sikap Bara kepada Pak Wira di rumah sakit kemarin, itu sangat tidak sopan. Bagaimana bisa seorang anak mengusir ayahnya sendiri?

"Ray, apa....apa Ranu punya saudara?"

Raya menggeleng cepat, "Dia anak tunggal."

Anak tunggal?

Suara merdu dari penyanyi yang menghibur di Kafe ini menjadi satu-satunya suara yang masih jelas dalam pendengaran Rindu. Matanya menatap sekitar, tembok kafe yang didominasi Biru cerah, jendela besar yang menampilkan hiruk pikuknya jalanan kota, juga berbagai orang yang lalu-lalang masuk dan keluar dari kafe.

Semuanya kian rumit untuk dipahami. Tapi kenapa rindu harus repot-repot mencoba memahami?

******

Bara memetik senar gitar kesayangannya sembari bersenandung kecil. Sesekali ia memejamkan mata dengan damai, menikmati setiap alunan nada yang mampu membuatnya tenang.

"Gue kayaknya bawa baju kebanyakan, banyak yang nggak kepakai." Ranu mengeluh disofa, tangannya dengan cekatan memisahkan antara baju kotor dan yang masih bersih kedalam tas yang berbeda.

Rindu untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang