tiga belas ; balas budi

38 5 4
                                    

Jika ada yang bertanya, apa yang paling membuat Rindu tak nyaman selain berada ditengah-tengah keramaian, jawabannya adalah hari ini. Hari pertama siklus bulannya. Hari yang menurut Rindu adalah salah satu hari terberatnya.

Bayangkan saja, selain rasa nyeri di bagian perut, rasa pening yang mendera kepalanya, juga kestabilan emosi yang sangat sulit dikendalikan, kini ia harus berhadapan dengan manusia dingin yang tempo hari pingsan di rooftop.

“Ayo.”

“H-hah?”

“Ikut gue.”

Beberapa hari setelah Bara dipulangkan dari Rumah Sakit, pria itu kembali menunaikan kewajibannya sebagai seorang siswa untuk menimba ilmu di sekolah. Walaupun alasan sebenarnya ia datang sama sekali bukan untuk itu. Tentu saja.

‘Seenggaknya lo harus bilang makasih, kalau aja cewek itu nggak nemuin lo disana, udah mati konyol lo kemarin.’

Ranu benar.

“Ke-kemana?” Rindu mengernyit.

Setelah selesai kelas, tiba-tiba saja tubuh jangkung Bara sudah ada didepannya menghadang jalan menuju gerbang. Rindu bahkan harus mendongak untuk memastikan siapa yang menghalangi langkahnya.

Dengan ujaran datar dan poker face andalannya, Bara meminta Rindu untuk mengikutinya. Bukankah itu aneh?

Bara berdecak kecil, memilih berjalan duluan di depan gadis yang masih mengerutkan dahi tak mengerti. “Ikut aja, balas budi.”

******

“Masuk.”

Rindu masuk ragu-ragu kedalam mobil putih yang tak asing baginya. Mobil Ranu. Mobil yang sama yang waktu itu sempat mengantarnya pulang.

‘Ternyata benar, hubungan Ranu dan Bara tidak mungkin hanya sebatas teman jika Ranu saja sampai meminjamkan mobilnya pada pria ini.’ Begitu pikir Rindu.

Hubungan antaran dua manusia itu pasti lebih rumit dari kelihatannya. Lebih kompleks daripada pertemanan biasanya.

Tidak-tidak-tidak. Rindu tidak ingin memikirkannya. Ia bahkan tidak punya hak utuk ikut mencampuri apapun yang terjadi pada pria yang kini sudah duduk manis dibalik kemudi.

Balas budi.

Bara melakukannya hanya sebagai bentuk terima kasih karena kejadian di rooftop tempo hari. Karena mungkin saja, jika ia tidak ada, bisa semalaman penuh pria itu tergeletak di sana tanpa ada seorangpun yang menyadari.

Rindu menghela nafas pelan. Memejamkan matanya sebentar kala rasa nyeri kembali menyeruak pada bagian perutnya.

Awalnya Rindu ingin menolak permintaan Bara, namun jangankan untuk berbicara, menyeimbangkan langkah kakinya saja Rindu kesulitan. Kaki-kaki panjang pria itu lebih memudahkan pemiliknya dalam bergerak. Tidak seperti Rindu yang tingginya saja bahkan tidak sampai 160cm.

Ia kembali membuka matanya, menyapu pandangan pada apapun yang berada diluar kaca mobil. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, sekawanan burung dengan cengkaram membawa makanan, ataupun langit biru dengan gumpalan awan bagai asap.

Tidak ada satupun dari keduanya yang membuka mulut, hingga mobil yang ia tumpangi sampai disebuah tempat yang sama sekali tak Rindu kenali.

Dengan dominasi warna hijau, pohon-pohon besar disegala penjuru tempat, rumput segar sejauh mata memandang, juga sesuatu yang membuat Rindu terpana saat kakinya mulai melangkah keluar dari mobil. Air.

Danau yang berada lumayan jauh dari tempat mobil terparkir terlihat mengkilap terbiaskan oleh cahaya mentari siang ini. Terlihat begitu mempesona dengan bunga-bunga kecil yang tumbuh tak beraturan disekitarnya. Cantik.

Rindu untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang