Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Bara belum juga kunjung pulang. Mbok Nah sudah mondar-mandir di teras rumah, berharap suara motor besar milik Bara mulai menyapa pendengaranya. Namun nihil, sudah satu jam lebih wanita paruh baya itu berada di luar menunggu Bara, namun majikannya itu tak juga muncul.
Mbok Nah kembali melirik handphone dalam genggamannya. Mencoba menghubungi Bara yang ujungnya tetap sama. Tidak dijawab.
Mbok Nah akhirnya mengirimi Bara sebuah pesan, hingga satu air matanya menetes sebab khawatir.
****
Jika ada yang bertanya apa yang dicintai Bara, jawabannya adalah sunyi. Keterbiasaannya selalu sendiri menjadikan Bara lagaknya berkawan baik dengan sepi.
Pria itu lebih senang menghabiskan waktu hanya ditemani nada gitar, sperangkat alat lukis, ataupun lintingan nikotin saja.
Kekecewaan yang pernah ia dapat rupanya menjadi perisai yang membatasi agar tidak terlalu percaya kepada orang lain. Direnggutnya sang mama dalam dekapan Bara, membuat pria itu tak berani menjadikan orang lain sebagai topangan. Ia hanya ingin hidup dengan dirinya sendiri. Setidaknya, satu-satunya manusia yang tidak akan mengkhianatinya adalah dirinya seorang.
Bara lagi-lagi merogoh rokok dari saku kemejanya. Ia bahkan tak sempat berpikir untuk berganti pakaian. Pertemuannya dengan Wira tadi siang rupanya kembali membangkitkan luka lama Bara yang mati-matian laki-laki itu pendam. Segigih apapun Wira meminta Bara kembali, kekeras kepalaan Bara tetap saja lebih besar. Cukup ibunya saja yang dibutakan cinta olehnya, Bara tidak ingin hatinya mejadi boomerang hidupnya sendiri.
Bara mengehela nafas berat, kemudian menoleh sebentar kearah handpone disampingnya Ada 21x panggilan tidak terjawab dari Ranu dan dua nomor yang tidak terdaftar, Bara tahu persis siapa pemilik nomor itu. Pak Wira dan Mbok Nah.
Tangan bara yang bebas dari rokok membuka satu pesan dari Mbok Nah,
+6282113658343
Mas Bara dimana? Mbok khawatir udah jam 10 tapi Mas Bara belum pulang juga. Kalau Mas Bara kebetulan baca, tolong dibalas, ya? titik saja juga nggak apa-apa asal Mbok tahu Mas Bara baik-baik aja. Mbok khawatir.
Bara menghela nafas lelah. Sedikit merasa bersalah kepada wanita yang sudah lima tahun bersamanya. Mbok Nah bukan sekedar pembantu dirumah Bara, tapi juga sebagai sosok ibu yang kini Bara tidak bisa miliki. Mbok Nah adalah orang paling tahu bagaimana menderitanya Bara selama ini. Bagaimana jatuhnya Bara saat Disa, mendiang ibunya meninggal dunia. Bara tidak memiliki siapapun sebagai topangan sejak ibunya meninggal, membuat Mbok Nah berempati dan merasa memiliki tanggung jawab terhadap pria yang bahkan masih menduduki bangku SMP kala itu.
Bara mengusap wajahnya pelan sebelum menekan tombol dial. Tidak sampai deringan kedua, suara lenguhan lega terdengar disebrang sana.
"Mas Bara kemana aja? Bibi khawatir. Mas Bara sekarang dimana? Udah makan?"
Bara tersenyum samar, merasa tenang, entah mengapa. "Bara sama Ranu. Mbok tidur aja, nggak usah tunggu Bara. Hari ini Bara nggak pulang." Tentu saja Bara berbohong. Tidak ada Ranu disini, bahkan sejak tadi, Bara tak sekalipun menjawab panggilan pria itu.
Ranu bahkan mungkin tidak tahu tempat ini. Hanya orang gila macam Bara yang berada di danau dalam pukul sepuluh malam.
"Mas Bara mau tidur dimana?"
"Di rooftop"
"Mas Bara udah makan? ini udah lewat jam makan malam."
"Udah, MBok." Bara kembali berbohong.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu untuk Bara
Teen Fiction"Semenjak semesta menampar telak dengan kenyataan, bahagia seakan terlalu mewah untuk dirasakan" Restafala Bara, pria kelam nan misterius yang hanya memiliki 3 hal dalam kamusnya; kelam, sepi, sendiri. Ia tak pernah memiliki siapapun pun untuk berba...