empat ; jaket hitam

64 15 1
                                    

"Mas Bara kemarin tidur di rumah, Pak. Hari ini, dia pulang sore karena mengunjungi Bu Disa dulu kepemakamanya. Lalu tadi sekitar pukul delapan, Mas Bara pamit lagi mau menginap di sekolah. Hanya itu yang Mbok tahu."

Pria dewasa dihadapan Mbok Nah mendengarkan dengan seksama setiap kata yag dilontarkan kepercayaannya itu. Sesekali beliau memijat batang hidungnya yang berdenyut linu, sesekali juga mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Lengan kemeja kerjanya Ia gulung hingga sikut, sedangkan jas hitamnya sudah ia lepas, dibiarkan begitu saja di sebelahnya. Wajah dengan kerutan disana sini membuatnya terlihat lebih tegas, namun dalam sorot tajamnya, ada sepercik luka yang tak banyak orang ketahui, sosok tegas sekaligus rapuh ini adalah Wira, ayah kandung Bara yang entah masih dianggap atau tidak oleh putranya itu.

"Pagi hari, dia sarapan, Mbok?"

Mbok Nah mengangguk, "Sore juga Mas Bara sempet makan karena saya bujuk, alhamdulillah mau. Tapi Mas Bara belum makan malam, sudah kenyang katanya."

"Mbok nanti tolong tanya persediaan makanan ringan di kulkas rooftopnya apa masih ada? Kalau sudah habis, nanti tolong diisi yang banyak, ya, Mbok."

"Iya, Pak."

"Ranu suka main kemari?" Mbok Nah sekali lagi mengangguk. Bara dan Ranu terbilang sangat dekat mengingat hubungan keluarga mereka yang jauh dari kata baik-baik saja.

"Kemarin-kemarin, Mas Bara dan Mas Ranu bahkan sempat bermain game bareng, Pak."

Wira menghela nafasnya sedikit lega, setidaknya kedekatan mereka tidak memperkeruh suasana. "Kalau gitu saya pamit, Mbok, sudah malam. Mbok pasti tahu sifat istri saya bagaimana, dia pasti kambuh lagi kalau tahu saya datang kemari."

"Iya, Pak."

"Tolong titip Bara dengan baik ya, Mbok. Terimakasih atas informasinya, saya pamit sekarang."

****

Kantin pagi ini sudah sangat ramai, bahkan waktu belum genap pukul sepuluh pagi. Raya dan Rindu tergesa-gesa mencari tempat duduk untuk mereka makan. setelah dapat, Raya buru-buru menarik tangan Rindu menuju tempat kosong. "Lo jagain tempat ini, biar gue yang pesan makan. Lo mau apa? Bakso aja deh biar cepet."

"Ray, biar saya yang pesan. Saya nggak enak dari kemarin kamu terus yang pesan."

Raya mengibaskan tangannya menolak, "Kalau lo pesan, yang ada makanannya nggak jadi-jadi karena diselip orang dan lo nggak berani marah. Udah lo tunggu disini, gue yang pesan, okay?"

Sebelum Rindu sempat menjawab, tubuh Raya sudah melesat cepat ikut membaur dalam antrean yang tidak terlalu panjang itu. Rindu menatap sekitarnya, sangat ramai. Dulu ia takut keramaian, takut bertemu orang lain, takut berbicara kepada orang lain, dan takut diperhatikan. Namun setelah beranjak semakin dewasa, bertemu dengan banyak orang baik, mengenal Raya, hidupnya sudah mulai mengalami perubahan. Kilasan memori kelam masa lalunya memang masih sering menghampiri benak Rindu, namun ia selalu berusaha menepisnya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa masa itu tidak akan pernah terulang kembali.

Pikiran Rindu harus terputus saat Raya sudah berada dihadapannya sembari membawa baki besar berisi dua mangkuk bakso dan dua botol air mineral. "Ini punya Rindu, ini punya gue."

Rindu tersenyum tulus melihat Raya menata makanan mereka diatas meja. "Makasih, Ray."

Raya mengernyit heran, "Lo bilang makasih cuma karena gue yang pesan makanan?"

Rindu kembali tersenyum dan mengangguk, "Karena kamu mau jadi teman saya"

Raya tertawa kecil, bahkan ia senang kali ini Rindu dapat berbicara tanpa gugup dengannya. Raya senang Rindu berubah, Raya senang Rindu tak menyerah.

Rindu untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang