empat belas; Renita

36 7 5
                                    

Ada beberapa hal di dunia ini yang dibenci Bara, salah satunya direndahkan oleh Renita. Awan gelap dengan udara dingin menggigit, menjadi pelengkap sempurna ditengah ketegangan yang menyelimuti keduanya.

“Delapan tahun suami saya sekolahkan, setidaknya saya kira kamu cukup pintar untuk mengerti ucapan saya waktu itu.”

Bara memutar bola matanya jengah. Muak dengan segala celotehan tidak bermutu dari wanita paruh baya di depannya. Jauh-jauh datang kemari, dengan tujuan mengembalikan mobil yang ia pinjam dari Ranu sekaligus menukar dengan motor kesayangannya, Bara malah dapat semburan penuh dengki sebagai sambutan. Menjemukan.

“Saya tidak pernah suka kamu dekat-dekat dengan anak saya, apalagi menginjakkan kaki kamu di rumah saya. Bagian mana yang kamu tidak paham?” Renita meremas jemarinya sendiri. Melihat anak ini sore-sore begini di depan rumahnya bukanlah hal yang ia senangi. Tidak akan pernah ia sukai. “Saya rasa, selain tidak berguna, kamu juga sedikit lemah dalam berpikir kalau sampai perintah sederhana saya tidak juga kamu mengerti. Benar?”

Bara mengangkat sebelah alisnya hiperbolis, menggoyang-goyangkan kunci mobil Ranu tepat di depan wajah Renita. “Ini. Saya datang cuma mau balikin mobil. Jadi bisa tolong panggilkan Ranu buat balikin motor saya juga?”

“Nggak sopan! Ini yang di ajarin guru kamu di sekolah?!” Renita menggeram, menepis kasar tangan Bara di depan wajahnya. “Kalau dengan disekolahkan kamu juga nggak pernah berubah, berhenti aja. Jangan buang-buang uang kami cuma buat kamu sia-siakan. Nggak berguna!”

“Udah deh Bu. Saya datang baik-baik, bukan ngajak adu mulut. Kalau Ibu marah karena mobil mewah ini saya pakai, tuh lihat sendiri…” Bara menunjuk mobil putih di belakangnya dengan santai. “Mobilnya udah bersih, wangi, bensin full. Tinggal pakai dan dijamin nggak bakal bikin malu. Jadi ini ambil.”

“INI BUKAN CUMA SOAL MOBIL!” Renita melempar kunci yang diserahkan Bara ke sembarang arah. Dadanya naik turun, sudah sedari tadi ia menahan-nahan emosinya. Renita tidak peduli tentang mobil, yang ia permasalahkan adalah kelancangan pria di depannya yang berani mendekati keluarganya lagi. Dia juga tidak peduli mobil itu lecet atau rusak sekalipun, karena hal yang membuatnya naik pitam adalah kekeras kepalaan Bara untuk tetap berteman dengan Ranu walau sudah berkali-kali ia larang.

Anak ini…. Tidak tahu malu.

“Dasar nggak tahu malu.”

Kelereng Bara menajam, memandang balik netra bulat wanita di depannya.

“Kamu itu cuma parasit. Sama kayak ibu kamu.”

“Apa?”

“Kamu itu nggak berguna. Cuma beban yang bisanya nyusahin semua orang.”

Gigi Bara bergemeletuk kasar. Netra tajamnya menggelap. Dia meradang. 

“Apa salah saya?” Peduli setan siapapun yang berdiri di depannya sekarang, jika tidak hanya dirinya namun dia menyentil harga diri ibunya juga, Bara tidak akan tinggal diam. “APA SALAH IBU SAYA?!”

Dua langkah lagi tubuhnya menjangkau Renita, Ranu datang tergopoh dari dalam rumah dengan wajah berantakan. Melemparkan tubuhnya sendiri menjadi perisai ibunya dari amukan Bara. Ranu merentangkan tangannya mencoba menenangkan. Namun Bara sudah terlanjur diliputi rasa marah. Dia mendorong tubuh Ranu hingga terjungkal ke samping. kembali menatap nyalang wajah wanita di depannya. “Apa salah saya sampai semua orang menganggap beban?

“Apa salah ibu saya sampai anda menyebutnya parasit?” Kelerengnya memerah, Bara mencengkram pundak Renita yang balik menatapnya tanpa gentar sedikitpun. “Apa hak anda menjatuhkan harga diri ibu saya?!”

Rindu untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang