Salah satu guru yang sampai saat ini membuat dendam kesumat gue gak tamat-tamat adalah ibu guru Suntet. Suntet itu nama panggilan gue untuk dia. Padahal sebenarnya namanya adalah Sundaryanti. Sebodoh amat lah gue gak perduli, toh dia juga gak tahu kalau selama ini ada salah satu murid didiknya yang memanggilnya dengan sebutan begitu. Kalaupun tahu gue sudah pasti akan dirajang jadi bakwan.
Ibu guru Suntet itu orangnya sebenarnya emang songong dari lahir. Dia itu guru yang super menyebalkan menurut sejarah hidup gue yang gak sepanjang kaos kakinya Ronaldo. Selain menyebalkan, dia itu adalah penindas jitu para murid biyayakan macam gue. Satu yang pasti dia tidak pernah memarahi Nada. Sedikitpun tidak pernah. Bahkan sampai saat ini.
Ibu guru Suntet mengajar pelajaran fisika. Bukan hanya mempelajari tekanan suhu di wilayah Afrika, Ibu guru Suntet juga mengajarkan tekanan fisik maupun batin dengan secara sempurna. Terutama terhadap tekanan batin, dia sangat pintar sekali dalam mengeluarkan kata-kata pedas hingga membuat kami para muridnya mendapatkan tekanan batin yang luar biasa nyesek. Kami tentu saja hanya diam ketika dia marah.
Dulu gue juga pernah di marahi. Bahkan gue sangat ingat dengan jelas bagaimana gigi gigi gingsul tidak rata cenderung miring itu mengeram kesal karena tingkah gue.
Jadi begini ceritanya, di suatu pagi yang cerah dengan awan yang bergerombol seperti jamur rempeyek, gue dan Thomas sudah berada di dalam kelas. Bahkan Thomas sudah membuka buku pelajaran fisikanya. Begitupula anak-anak yang lain. Mereka sudah siap di tempat duduknya masing-masing seperti sedang menyiapkan amunisi untuk perang.
Sedangkan gue, gue masih berleha-leha dengan secangkir kopi yang ada di atas meja gue. Jam masih menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Namun suara sepatu yang gue duga mirip suara sepatu malaika pencabut nyawa itu sudah terdengar nyaring di sepanjang koridor hingga memasuki kelas gue. Dan benar saja, Suntet si sundel bolong sudah berdiri manis di depan pintu masuk kelas gue. Mata elangnya mulai menyisir seisi kelas.
"Ngelihatin apa?"
Kami serentak menggeleng.
"Kedip."
Dan kami serentak berkedip.
"Ngapain buka buku?"
Dengan gerakan serentak kami langsung menutup buku paket fisika kami.
"Kok diem. Ketawa dong!"
"Hahahahaha." Kami tertawa dengan pipi sekaku papan triplek.
Jangan heran jika anak-anak di kelas gue berubah menjadi sekaku robot saat Suntet sudah berada di depan kelas dengan kacamata hitamnya. Ini nih, kalian pasti heran kenapa ibu guru Suntet memakai kaca mata hitam layaknya sedang berjalan-jalan di tengah-tengah teriknya sinar matahari dibanding menggunakan kacamata yang di gunakan guru pada umumnya. Karena konon katanya dia akan sakit mata jika melihat wajah - wajah bodoh murid didiknya.
Suntet memang semenyebalkan itu. Jadi jangan heran kalau tingkahnya agak abnormal. Toh kami sudah terbiasa akan hal itu.
Satu lagi. Ibu guru Suntet ini adalah tipe guru yang tidak suka menghabiskan waktunya untuk menghapus papan tulis. Untuk menghemat waktu tersebut, ia sering menuliskan materinya dengan ukuran huruf yang sangat kecil sehingga kami tidak bisa membacanya secara jelas dari jarak jauh. Terutama untuk gue yang notabene duduk paling belakang di kelas. Tulisan ibu guru Suntet lebih mirip rumput rebahan yang sama sekali tidak bisa gue baca.
"Irham ngapain masih duduk di belakang? Maju!"
"Hehehe gak usah Bu. Dari sini kelihatan kok!"
"Mau jadi anak goblok ya? Cepetan maju!"
Astaghfirullah. Gue dikatain goblok nih mak! Pistol aja mak kelapanya mak. Irham Ikhlas kok.
Seluruh kelas langsung tertawa saat Suntet mencopot kacamata hitamnya lalu melotot ke arah gue. Karena gue gak suka berkelahi dengan makhluk berjanis kelamin tidak jelas, akhirnya gue maju dan duduk di lantai mengikuti teman-teman gue lainnya.
"Hah!" Gue menghela nafas lelah. Bahkan dari jarak sedekat ini tulisan Suntet tidak bisa gue baca dengan jelas. Kepala gue terasa nyut-nyutan karena melihat deretan tulisan rumput yang rebah karena angin topan.
"Kenapa?"
"Eh? Gak, gak kenapa-kenapa."
Anjir woy kok gue gak tahu sih yang duduk di samping gue itu ternyata Nada?
"Gak bisa baca ya?"
"Iya."
Please jantung gue mulai norak nih. Ya Robbi ya illahi.
"Ya udah lo baca tulisan gue aja. Gak usah baca yang ada di papan tulis."
Seketika gue blank.
"Hah?"
"Lo baca ini aja." Kata Nada sambil menunjukkan buku catatannya.
"Lo baik banget sih Nad. Tumben."
"Hahaha. Dari dulu gue emang baik Ham. Lo aja yang gak sadar."
"Iya. Gue juga selalu baik sama lo bahkan sampai menyerahkan hati gue untuk lo. Tapi sampai saat ini lo belum juga menyadarinya."
"Hah?"
******
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Words : [KTH JOURNAL SERIES] END
FanficHallo? Gue Irham. Irham aja gak pake doang. Gue masih anak sma. Kelas tiga. Bentar lagi gue mau lulus. Gue anaknya menolak segala bentuk kepopuleran entah apapun itu. Gue gak ikut OSIS. Bukan ketua tim basket. Atau badboy yang digilai cewek- cewek...