Chapter 8

30 7 0
                                    

-OktaNova-

Di sinilah Okta sekarang. Berdiri di hadapan sebuah rumah bercat putih hitam yang megah. Rumah bertingkat dua yang tampak sepi. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, manarik nafas dalam lalu mulai melangkah masuk ke dalam rumah tersebut malui pintu besar berwarna putih.

Pintunya tak terkunci. Segera Okta melangkah cepat memasuki rumah tersebut. Suasana senyi menyambut gadis berambut kuncir itu. Hanya ada dua lampu yang menyala di ruangan tengah, hal ini menimbulkan tampilan redup di sekeliling. Berusaha tak mempedulikan semua itu, Okta mempercepat langkahnya menuju objek yang dicari.

"Dit..." panggil Okta dengan pandangan fokus menyapu sekitar.

Jujur ia bingung saat ini. Rasa panik telah menguasai dirinya. Sejak ia menerima telfon dari sahabatnya, Dito dan mengatakan bahwa lelaki itu terjatuh dan terjebak di kamar mandi barusan, otak Okta telah kehilangan cara untuk berfikir. Mencari Dito yang kesakitan di rumah seluas ini?

"Dito, lo denger gue?" ucap Okta lagi berharap Dito mendengarkannya.

"Dit," Okta melangkah kakinya ke bagian paling ujung dari rumah tersebut. Dan ia baru mengetahui bahwa itu adalah dapur. Lagi-lagi gadis itu menarik nafas dalam. Ini adalah kali pertama ia menginjak kakinya di rumah Dito. Bahkan setelah mereka cukup lama berteman.

Kini, Okta beralih berjalan menaiki tangga yang mungkin terdapat sepuluh sampai dua belas anak tangganya. Mungkin saja kamar Dito berada di lantai atas, pikirnya.

"Dito, please jawab gue kalau lo denger!" cicit Okta setengah berteriak.

Diantara beberapa tangga terakhir, Okta samar-samar mendengar suara. Seperti suara ketukan. Dengan cepat ia kembali melangkah mencari sumber suara itu. "Dit, Dito." Okta masuk ke dalam ruangan, pikirannya langsung menangkap sinyal, bahwa ini adalah kamar lelaki bertubuh tinggi itu. Ia menuju pintu putih yang ia yakini adalah kamar mandi.

"Dit, lo dengar gue?"

"Dit!" tak ada jawaban. Okta terus mengedor-ngedor pintu yang terkunci dari dalam itu.

"Ta, lo dobrak aja!" pelan Dito mengeluarkan suara dari balik sana.

Okta dengan siap mengambil anjang-anjang dan sekali tendangan pintu dihadapannya terbuka. Tentu saja dengan suara kasar yang ditimbulkan. Setelah mendorong pelan pintu yang setengah terbuka, barulah Okta mendapati sosok Dito.

Lelaki itu tergolek lemas di atas lantai keramik yang hampir ditutupi warna darah. Okta melotot bola matanya, sedikit terkejut.

"Dit," panggil Okta, ia juga ikut berjongkok mendekati tubuh Dito yang hanya dibalut koas putih tipis dan celana abu-abu pendek. Tubuh lelaki itu terasa dingin.

"Dito, gue di sini!" Okta menepuk-nepuk pipi lelaki yang berada dalam pangkuannya saat ini.

Mata Dito yang sedari tadi terpejam, kini perlahan sedikit terbuka. Tentu saja, objek pertama yang tertangkap adalah gadis dihadapannya. Namun pandangan Dito kembali tertutup. Ia, sungguh tak sanggup.

***

Setelah pesan yang Okta kirimkan pada kembarannya terkirim. Tak lama, Okta langsung membawa Dito ke klink terdekat. Ia menyetop taksi tanpa memikirkan fakta tentang ia tak membawa sepeser uang pun. Dan beginilah sekarang. Okta berada di sebuah klinik tak jauh dari komplek perumahannya dengan memakai kaos bermotif garis-garis setengah lengan dan celana pendek selutut. Di sebelahnya, seorang lelaki mungkin berumur  20tahunan, berdiri bersandar pada dinding. Lelaki tersebut adalah sopir taksi barusan yang tengah menunggu ongkosnya. Terpaksa Okta harus memohon menunggu sampai Nova datang. Maklum sajalah, ia dilanda panik dan buru-buru.

****

Terima kasih
Telah membaca
Kisah
-OktaNova-

Salam,
~Molysa

OktanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang