Chapter 15

27 6 0
                                    

Terkadang, orang tua sering lupa
bahwa yang dibutuhkan seorang anak tak hanya material saja,
namun juga kebutuhan batinnya.
-Dito Ayongibrasta

-OktaNova-

Seusai makan malam kali ini, keluarga Witomo seperti biasa berkumpul sejenak di ruang keluarga. Witomo memang selalu memanfaatkan saat-saat seperti ini agar ikatan dalam keluarga selalu terjaga. Karena, Witomo sebagai kepala keluarga menyadari bahwa ia tak punya waktu yang banyak pada keluarganya. Tugas dalam pekerjaannya sebagai seorang polisi yang menuntut ia harus profesional. Terkadang, jika ia mendapatkan tugas lapangan dalam seminggu saja ia hanya bisa pulang satu hari. Malam kali ini, Dito juga ikut serta duduk di sana.

"Kamu sudah memberitahukan orang tua, kamu belum tentang keadaanmu itu?" tanya Witomo apa Dito yang duduk di kursi yang berada di hadapannya.

Dito mengangguk, "udah kok, Om. Saya sudah kasih tahu papa saya, kok. Yah, cuma papa masih ada kerjaan diluar negeri, Om."

Okta yang duduk di samping lelaki itu, sekilas menoleh memperhatikan raut wajah Dito yang jarang ia jumpai. Karena dari luar, Dito adalah sosok periang, humoris jauh dibalik berbagai masalah dalam keluarganya.

"Lalu keluarga kamu yang lain, gak ada yang dekat gitu? Bukan karena kamu itu anak lelaki, jadi harus hidup mandiri seprti itu juga, kan? Setidaknya harus ada yang mantau keadaan kamu," ucap Witomo dengan wibawanya. Memang seperti itu pesona yang ditunjukkan oleh Wtomo, terlihat menyeramkan memang tetapi ia adalah sosok kepala keluarga yang cukup bertanggung jawab, ia pandai menempatkan posisinya, di mana ia harus bersifat tegas dan juga humoris.

"Ada kok, Om. Sebenarnya ibu saya juga tinggal di kota ini, beliau tinggal di apartemen di pusat kota. Adik dari ayah saya selaku wali saya juga ada di sini, cuma yah gitu, mereka juga sama sibuknya."

"Ya sudahlah, kamu bisa tinggal disini dulu kok. Bunda gak keberatan," sahut Nia.

"Dit, emang ibu kerja apaan?" Nova tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya. Sedangkan, Okta telah menatap tajam dirinya.

"Oh, Nyokap gue kerja ngurus-ngurus pernikahan gitu, mulai dari make up, pelaminan, kattring, yah gitu deh, gue gak tahu apa namanya."

"Oh, keren dong itu," balas Nova antusias. Okta yang sedari tadi menahan dirinya untuk tak berkomentar akhirnya berujar juga,  "Em, Pa, Bun. Okta masuk kamar dulu, yah. Ada pr soalnya."

"Iya, Ade gak belajar juga?" Witomo menatap anak bungsunya sejenak.

"Eh, iya Pa. Nov ikut masuk kalau gitu," sahut Nova diiringi cengiran.

Kedua anak kembar tersebut pergi menuju kamar mereka. Yang tersisa hanyalah sepasang suami-istri dan juga Dito yang bingung harus berbuat apalagi sekarang. Pasalnya, lelaki itu masih segan dengan Witomo. Sedangkan Nia yang mengetahui kecanggungan teman anaknya itu, segera mengatasinya.

"Dito, langsung tidur atau bagaimana? Atau mau ikut masuk ke kamar?"

"Em, saya ke kamar aja boleh gak, Bun?" jawab Dito lembut.

"Boleh, tapi jangan macam-macam kalau ada Okta di kamar, itu aja." sahut Witomo tegas.

Lagi-lagi Dito merasa bulu kuduknya berdiri. Memang aura Witomo begitu dominan. "Iya, Om. Saya cuma mau tidur aja, kok. Nanti saya suruh Okta belajar diluar aja."

"Lho, kok kamu niat nguris anak saya, sih?" Dito kebablasan mendengar ucapan Witomo. Maksudnya tadi bukan seperti itu.

"Buk-"

"Papa, udah jangan nganguin Dito mulu, ah. Mending Papa bantuin papah dia ke kamar, kasian kan!" balas Nia yang berhasil membuat Witomo terkekeh. Lalu dengan sigap, lelaki paruh Bayu itu memapah Dito menuju kamarnya.

Entahlah, Dito selalu merasa ingin mengenal sosok Witomo lebih dekat lagi.

OktanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang