Chapter 9

43 7 2
                                    

Karena kata sahabat adalah
status ternaif yang sedang gue pelihara dari kata cinta.
~Okta Ascrilia amareta~

-OktaNova-

Menghela nafas lega ketika sosok Nova dan juga papanya telah tampak dalam pandangannya. Gais itu bangkit. Kembarannya terlihat berjalan sedikit cepetan sedangkan lelaki di belakangnya masih tetap berjalan berjalan seperti biasa dengan tenang namun, sorot matanya tak bisa dijelaskan.

"Dito gimana kak?" Kalimat pertama yang keluar dari bibir Nova.

"Di-dia masih di tanggani Nov, Pa. Em, Okta tadi gak bawa duit, ini sopir taksi-nya belum dibayar," balas Okta pelan.

Witomo menoleh ke arah pemuda berbaju biru di sebelah Okta. Lalu ia membayar ongkosnya.

"Terima kasih, pak. Semoga yang lagi sakit lekas sembuh. Saya pergi dulu," ucap pemuda itu ramah sebelum melangkah menjauh untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.

***

"Sebenarnya kenapa sih, lo? Kok bisa gini?" tanya setengah berbisik pada Dito di sebelahnya.

Mereka sedang dalam sebuah mobil sedan hitam yang dikemudi oleh Witomo dalam perjalanan pulang. "Nanti gue ceritain," balas Dito dengan entengnya. Okta hanya melonggos sedikit kesal. Pasalnya sedari di klinik sampai sekarang yang lelaki itu tak memberi tahukan mengapa kakinya bisa terkilir dan jidatnya berdarah.

"Auuw," cicit Okta meringis kesakitan sebab pipi kirinya dicubit oleh Dito. Sponstan Okta menatap Dito di sampingnya dengan tajam.

"Janga galak-galak, Ta. Gue lagi sakit, lho."

"Ehmm." Suara Nova di kursi belakang yang sengaja dibuat-buat. Sedangkan Witomo masih hening fokus dalam mengemudi.

"Ti-ati baper dedek bang,"

***

Begitu sampai di halaman rumah keluarga Witomo, Nia terlihat sudah menunggu dengan gelisah di sana. Wanita itu duduk di kursi teras dan memandang ke arah jalanan. Okta dan Nova keluar dari dalam sana. Sedangkan Dito harus dibantu Witomo untuk membantu Dito turun dan berjalan. Kaki lelaki itu terkilir, otomatis kesakitan saat melangkah.

"Bunda sampe cemas nungguin kalian," ujar Nia sembari bangkit dari duduknya. Raut wajahnya masih terlihat khawatir.

"Bun, masuk aja yuk. Di luar dingin, ntar Bunda ikutan sakit lagi," ajak Nova yang diangguki oleh Okta. Sang bunda pun mengikuti saja kedua putrinya. Mereka masuk dan duduk di sofa, di susul Witomo dan Dito di belakang.

"Jadi kaki kamu kenapa? Bunda sampe panik pas liat Okta lari-lari kesetanan keluar dari rumah. Bunda tanya Nov, katanya nyusulin kamu yang lagi sakit di rumah sendirian." Nia menatap Dito penuh tanda tanya.


"Hehe, Dito cuma kepeleset di kamar mandi, Bun. Terus pas jatoh kepentok sama sudut dinding kepalanya. Karena gk bisa berdiri lagi, gak ada orang juga di rumah, kebetulan ada handphone di saku, yah Dito telfon Okta jadinya." Nia, Nova dan juga Witomo serentak mengangguk-angguk. Tapi tidak dengan Okta. Gadis itu masih tampak tak percaya.

"Maaf, yah Bunda, Om udah ngerepotin banget."

"Iya, tidak masalah. Lain kali hati-hati." Kali ini Witomo yang berujar.

"Ya sudah, kamu istirahat di sini malam ini. Nova buatin teh buat Papa, sama air hangat buat Dito. Kakak beresin kamar dulu, Dito tidur di sana malam ini, kakak tidur bareng adek aja, yah?"

"Eh, i-iya, Bun."

"Bagus deh, Bunda bantuin Nov dulu."

Nia beranjak pergi menyusul Nova ke dapur. Sedangkan Witomo pun ikut beranjak ke kamar. Tinggallah dua insan yang tersisa.

"Lo gak beneran cuma gitu kan ceritanya?"

"Hehe, lo emang paling tahu gue sih Ta. Tapi masak lo gak tahu kalau gue elergi kodok? Tadi gue kepeleset gegara ada kodok, makanya bisa langsung pingsan gak kuat, phobia gue," jelas Dito menjawab pertanyaan dari kepala Okta.

***

-Okta dan Nova-

-Dito ayongibrasta-

OktanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang