Ada masa ketika Netta masih membayangkan betapa tampan dan berbakatnya Aru. Di saat yang lain, gadis itu harus menjerit memikirkan betapa kacau tugas nirmana 2D yang dibebankan kepadanya. Parahnya, Dosen meminta mereka untuk tidak memakai warna-warna kontras dan harus menggunakan warna pastel yang lembut.
Suasana kamar yang diiringi musik klasik yang lembut tetap tak membuat Netta merasa tenang. Hawa pendingin ruangan yang disetel pada suhu 23 derajat seharusnya membuat gadis itu merasa nyaman. Sayang, semua tampak sia-sia.
Netta duduk di atas lantai memandangi kertas tugasnya gamang. Aneka botol cat poster berderet di sebelah kanannya. Satu mangkok air tampak setia bergeming di sisi kiri. Sebuah wadah untuk mencampur warna juga tersedia. Entah sudah berapa tisu habis untuk membersihkan kuas yang dipakai berulang.
Pola yang sudah ditinta dengan drawing pen sebenarnya membuat mood-nya naik. Dosen pun sama sekali tidak mengajukan protes karena karyanya dinilai sangat memukau. Transformasi bentuk dari ujung ke ujung dengan motif lengkung yang sangat elegan. Aru bahkan memujinya habis-habisan.
Ah, mengingat pemuda itu membuat jantung Netta kembali bergemuruh. Apa yang membuat dirinya begitu merasa bahagia pada setiap pujian pemuda itu? Seolah semua hal buruk di dunia bisa disingkirkan sejenak jika mendengar ada kata-kata lugasnya.
Mungkin Aru memang bukan pemuda sempurna. Namun, bagaimana mahasiswa itu memberi pujian dan perhatian, selalu meluluhkan semua ucapan kasarnya. Netta berpikir, mungkin Aru hanya orang yang selalu dipuji oleh sekitar. Ia tak diajari bagaimana cara untuk meletakkan posisi pada lawan bicaranya. Bicara tanpa rem dan kerap merendahkan. Apa mungkin Aru bisa berubah kelak jika mereka berpacaran dan menikah?
Ya, Tuhan! Netta menggeleng-geleng dengan cepat. Kenapa otaknya semakin melalang buana ke mana-mana? Tidak ada waktu untuk jatuh cinta apalagi pacaran. Masalah utamanya sekarang adalah Nirmana Datar. Jika ia bisa melewati ini, mungkin ke depannya akan lebih mudah. Ya … mungkin.
Ah, tapi perasaan hati siapa yang bisa berkilah dari cinta? Tidak juga dengan Netta. Setiap kali kepalanya pusing dengan tugas, wajah Aru yang pertama kali terlintas. Setidaknya, seluruh pikiran yang rumit, sedikit merasa tenang.
“Ayolah, Net! Jangan mikirin cowok mulu!” Netta memukul kepalanya sendiri. “Ayo Fokus!”
Kali ini ia kembali menekuri lembar tugasnya. Ada yang besar dan ada yang kecil untuk berlatih. Entah sudah ada berapa gumpalan kertas yang bertumpuk di dalam tong sampah.
“Kenapa warna kalian kelihatan samaaaaa!” jeritan tertahan terdengar. Gadis itu mencoba mencampurkan cat poster warna merah muda dengan air. Dia bahkan menakarnya dengan pipet. Namun, berapa banyak pun air dicampurkan, ia tetap melihat warna yang sejenis. Kontrasnya nihil.
Demikian pula saat ia mencoba mencampurkan warna hijau. Semua tampak sama. Sekali lagi ia meremas kertasnya dan melemparnya ke tempat sampah. Meleset. Lagi-lagi suara debasan terdengar. Ia terlalu malas untuk bangkit dan memasukkannya ke keranjang. Ah, sudahlah. Nanti saja sekalian. batinnya.
Netta kini menggaruk rambutnya kasar. “Masa harus bikin gradasi biru ke kuning? Nggak pastel banget itu warna. Lagian aku juga nggak terlalu bisa membuat gradasi biru dan kuning sebanyak ini!” Netta menatap hampa ke setiap bentuk yang telah dibuatnya. Setidaknya ia butuh lebih dari sepuluh jenis warna.
“Aku harus gimanaaaaa?”
Tiba-tiba wajah tampan itu kembali muncul di pikirannya. “Kalau aku tanya Aru, kira-kira gimana, ya?”
Netta menjatuhkan tubuhnya ke belakang perlahan. Meluruskan punggung di atas lantai yang dingin. Berharap semua rasa sejuk yang menjalar di punggung bisa naik ke kepalanya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
END Monokrom x Akankah Asa Terhalang Warna?
General FictionAnnetta Shelladhika Putri tak pernah menyangka bahwa ia memiliki cacat bawaan. Dalam delapan belas tahun kehidupannya, gadis itu selalu merasa normal dan baik-baik saja. Dunia terasa kacau balau saat dokter menunjukkan diagnosa sebenarnya. Kini, Net...