KISAH SEBELUMNYA
"Kenapa?" kejar Netta saat keduanya bergerak ke arah motor.
"Nanti aja aku jelaskan di kampus. Yang jelas, masalahmu beres. Itu lebih penting."
Netta pun tak membantah ketika akhirnya keduanya menaiki motor yang sama menuju kampus.
Aru masih tak mau bicara bahkan ketika keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Netta mengekor dengan perasaan tak menentu. Ada banyak pertanyaan berjejalan di kepala. Kampus sudah terlihat lengang karena mahasiswa tampak sudah mulai memasuki kelas yang kurang dari sepuluh menit lagi akan dimulai. Setidaknya, tak ada yang memperhatikan dua orang yang tergesa berjalan. Yang satu berwajah sangat serius dan satunya lagi cemas tak menentu.
Baru saja keduanya menaiki tangga menuju lantai pertama, Ray sudah menghadang. Belum sempat Netta membuka mulut, tiba-tiba Aru melompat ke atas, menarik kerah pemuda di hadapannya dengan cepat sebelum mendorongnya hingga menabrak tembok. Koridor kosong menjadi saksi dua pemuda yang bersitatap penuh ketegangan.
"Ngapain kamu di sini?" desis pemuda berkacamata itu garang.
"Gu-gue mau tahu kabar Netta." suaranya terdengar seperti tercekik.
Senyum dingin mengerikan tersungging di bibir Aru sebelum ia berujar tak kalah menyeramkan, "Kamu yang bikin masalah, malah masih berani menanyakan kabar?"
Ray tak menjawab.
"Netta kerepotan karenamu! Dia sampai nangis semalaman karena kamu! Masih berani muncul di depannya?!" Nada Aru meninggi.
Netta tanpa sadar membelai pipinya. Apa benar wajahnya terlihat seperti menangis semalaman? Ah, bukan saatnya memikirkan itu. Ia harus bisa melerai kedua orang itu sebelum terjadi hal lebih buruk.
"HENTIKAN KALIAN BERDUA!"
Aru menoleh sedikit. "Kamu yakin mau ketemu sama orang yang bikin kamu susah? Aku bahkan harus berusaha keras untuk meyakinkan papamu bahwa kemarin kalian sungguh-sungguh mengerjakan PR. Tanpa foto, tanpa bukti apa-apa. Hanya bermodal kemampuan presentasiku yang luar biasa!"
Netta mengangguk kuat. Ia hanya ingin keduanya tenang. Harus diakui, Aru memang hebat bisa mengubah pandangan Papa dan justru menyuruhnya membonceng Aru ke kampus. Sesuatu yang belum pernah dialami. Luar biasa!
Aru mendorong Ray sedikit sebelum melepaskan tangannya hingga terayun ke belakang. Wajah tanpa ekspresi itu terlihat menahan geram.
Baru pertama Netta melihat Aru semarah itu. Bahkan ketika gadis itu berusaha mendekati Ray, tangan Aru menyambar lengan Netta dan menahannya.
"Aku cuma mau ngomong sama Ray." Netta berusaha tersenyum menenangkan.
Baru saja Ray maju satu langkah, Aru bergeser menghalanginya lebih mendekat. Seolah melindungi gadis itu agar tak lagi terluka. Pemuda berkacamata itu merasakan sesuatu membakar dadanya ketika melihat mata membengkak dan memerah, juga tatapan sayu yang seolah tak ada lagi hari bahagia. Namun, dirinya harus bisa bersikap tenang. Ray setidaknya harus menjelaskan mengapa ia bisa bertindak sebodoh kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
END Monokrom x Akankah Asa Terhalang Warna?
General FictionAnnetta Shelladhika Putri tak pernah menyangka bahwa ia memiliki cacat bawaan. Dalam delapan belas tahun kehidupannya, gadis itu selalu merasa normal dan baik-baik saja. Dunia terasa kacau balau saat dokter menunjukkan diagnosa sebenarnya. Kini, Net...