KISAH SEBELUMNYA
Hati gadis itu terasa menghangat dengan rasa yakin yang tiba-tiba saja menggumpal. Untuk yang pertama, Netta mengangkat kepalanya dan tersenyum penuh kebanggaan.
Tanpa Netta sadari, pemuda dengan iris berwarna cokelat di sisi kirinya, menatap dengan perasaan campur aduk.
Tak terasa, akhir pelajaran hari ini telah tiba. Pukul sebelas kurang lima menit, kelas sudah dibubarkan. Baru saja kedua pemuda itu bangkit dari kursi masing-masing, Netta memanggil mereka.
"Aku mau ngomong sama kalian. Boleh?"
Aru dan Ray saling melempar pandangan sebelum mengangguk setuju bersama.
"Di lantai tiga, yuk! Di lorong belakang kayaknya sepi." Senyum lebar merekah di wajah Netta penuh kelegaan. Tak disangka keduanya langsung menyetujui tanpa harus berdebat sama sekali. Bisa jadi karena mereka juga ingin menyelesaikan pertengkaran pagi tadi. Entahlah! Yang penting satu langkah awal sudah tercapai.
Langkah kaki gadis itu terasa ringan kala memimpin pergerakan menuju lorong yang dimaksud. Sebuah lorong terpencil yang berada di antara tembok ruang kelas dan ruang asisten dosen. Lebarnya sebenarnya lumayan, sekitar empat meter. Namun, karena jarang ada yang ke sini, bisa dibilang, wilayah ini jarang terjamah.
Sesuai dugaan, tidak ada siapa pun di sana. Netta mengambil tempat dekat dinding yang membatasi lantai tiga. Tanpa melihat lantai yang mungkin kotor, ia langsung mengempaskan bokong dan duduk bersila.
Ray menyusul sembari menahan senyum. Baru sekali ini dia melihat perempuan bisa santai duduk di lantai tanpa harus sibuk mencari alas duduk.
Aru berbeda. Ia sedikit menjengit, mengeluarkan tisu, kemudian membentangkannya beberapa helai di lantai. "Celanaku baru ganti hari ini. Sayang. Besok harusnya masih bisa dipakai." Dia menjelaskan tanpa diminta, masih dengan nada datar.
Netta menahan senyum ketika Aru pun akhirnya menyusul duduk di samping Ray. Ia menarik napas berusaha menenangkan diri. Gadis itu sudah pertimbangkan banyak hal sepanjang jam pelajaran. Semoga apa yang akan dia lakukan menjadi langkah yang terbaik bagi hubungan mereka bertiga.
Pandangan Netta menyapu kedua lawan bicaranya dan tersenyum lembut. "Sebelum mulai, aku pengin kalian janji untuk nggak protes, bertanya, membantah, ataupun pergi sebelum aku selesai ngomong. Karena kali ini, aku bakalan ngomong kayak nenek tua yang ngoceh sepanjang kereta api dua belas gerbong. Mau? Harus mau, sih!" Netta tergelak.
Aru mengangkat alis kanannya dan menoleh ke arah Ray. Pemuda berambut kecokelatan itu hanya mengangkat bahu bingung.
"Emang, buat apa, sih?"
"Tuh, kan, udah nanya." Netta berdecak.
"Ya udah, deh. Gue, sih, orang baik. Oke aja sama semua syarat lo." Ray kembali memandang Aru sembari mengangkat kepalanya sedikit. "Kalau lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
END Monokrom x Akankah Asa Terhalang Warna?
General FictionAnnetta Shelladhika Putri tak pernah menyangka bahwa ia memiliki cacat bawaan. Dalam delapan belas tahun kehidupannya, gadis itu selalu merasa normal dan baik-baik saja. Dunia terasa kacau balau saat dokter menunjukkan diagnosa sebenarnya. Kini, Net...