KISAH SEBELUMNYA
"Udah, simpen aja itu gambar ke tas!" Ray terlihat tak senang dan mengalihkan pandangan Netta dan Aru. "Pulang kuliah, kita bahas persoalan PR-mu yang Nirmana, oke?"
"Kita?" Netta ragu-ragu.
"Iya aku dan kamu aja." Ray menyipit menatap Aru yang kini kembali seolah tak peduli.
Netta melirik sekilas ke arah Aru. Ada suara debas penuh rasa kecewa di sana. "Baiklah, makasih udah mau bantu aku."
"Apa sih yang enggak buat kamu!" Ray menepuk punggung Netta bahagia.
Netta tak bisa menghilangkan rasa kecewa ketika menyadari Aru benar-benar menghilang. Yah, karena setidaknya pemuda itu tak membencinya, mungkin dia masih punya harapan.
"Di perpus kampus Anggrek?" Gadis itu mengekor Ray yang bergerak menuruni tangga. Hanya saja langkah Netta tersendat karena mencangklong tas yang besar dan cukup berat dengan aneka alat lukis di dalamnya.
Langkah Ray terhenti. Ia kembali menaiki anak tangga dan berdiri tegak di sisi Netta. Ditariknya tas gadis itu dengan gerakan sedikit memaksa.
"Di kos gue aja lebih nyaman." Pemuda itu melanjutkan langkahnya turun. Ia tak memedulikan protes Netta karena tasnya diambil, juga karena mereka terus berjalan menuju kos tempat Ray tinggal.
"A-aku mana boleh aku masuk kosan cowok!"
Ray menghentikan langkahnya dan terkekeh pelan. "Ih, ge er amat! Kosan gue untuk campuran cowok dan cewek. Beda lantai. Ada ruang belajar bareng di bawah. Makanya banyak anak DKV dan arsitek yang ngekos di sana."
Mata Netta membulat. "Oooh ... sayang campur, ya?"
Alis Ray naik ke atas. "Kenapa? Lo mau satu kos sama gue?"
"Ish ... mana mungkin aku dibolehin kos campur." Netta tertawa pelan. "Papa bisa stres!"
Ray mengangkat bahu. "Ya udah, gue cuma nawarin."
Tak sampai sepuluh menit, keduanya sudah masuk ke dalam kos-kosan. Suasananya ternyata cukup luas dan nyaman. Ada tulisan dilarang merokok yang membuat Netta merasa senang.
Ternyata rumah itu memiliki tempat berukuran 6 x 6 meter di lantai bawah untuk ruang belajar yang tertutup dan ber-AC. Bahkan lampu ruang selalu dalam kondisi menyala karena kamar tanpa jendela itu akan menjadi gelap gulita jika ditutup.
Aula kecil tanpa kursi dan meja itu hanya memiliki gulungan tikar di sudut ruangan. Namun, para tamu tampak lebih memilih menggelar pekerjaan mereka tanpa alas apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
END Monokrom x Akankah Asa Terhalang Warna?
General FictionAnnetta Shelladhika Putri tak pernah menyangka bahwa ia memiliki cacat bawaan. Dalam delapan belas tahun kehidupannya, gadis itu selalu merasa normal dan baik-baik saja. Dunia terasa kacau balau saat dokter menunjukkan diagnosa sebenarnya. Kini, Net...