Monokrom - 17 - Inikah Namanya Cinta?

3.9K 722 210
                                    

Tiba-tiba Ray memukulkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kirinya. "Oh ... jadi sebenarnya lo cemburu sama gue, jadi lo nggak rela kalau harus promosiin gue di depan calon mertua?!"


Aru dan Netta menoleh ke arah Ray serentak. Saat itu Ray merutuki mulutnya yang selalu berujar tanpa berpikir.

💖💖💖💖💖

Ray bisa melihat dengan jelas wajah Netta yang memerah dan bagaimana gadis itu diam-diam menunggu reaksi Aru. Pemuda berambut kecokelatan itu menghela napas panjang berusaha menenangkan diri pada rasa kecewa atas kecerobohannya sendiri.

"Mertua siapa? Mertuamu?" Aru menyisipkan tangan kanannya ke saku celana.

"Mu," balas Ray malas.

"Calon mertuaku? Maksudmu, aku jatuh cinta pada Netta dan ingin papanya jadi mertuaku?" Pemuda berkacamata itu mengerutkan kening. Aru langsung bangkit berdiri sembari menyambar tisu-tisu yang berserakan untuk dijejalkan ke saku celana kirinya. "Seumur hidup, aku belum pernah merasakan debar jantung orang jatuh cinta yang katanya bisa sampai bikin sesak napas."

Aru mencangklongkan tasnya ke pundak. Sejenak pandangannya meredup kala memandang Netta. "Karena pembicaraan kita sudah selesai, aku pamit." Dia pun bergerak menjauh dan menghilang di tikungan koridor.

Netta mengembuskan napas penuh kekecewaan. Namun, tak lama gadis itu menyusul bangkit.

"Ray, aku balik dulu, ya! Sekali lagi makasih buat segalanya. Maaf kalau Papa udah rese." Ada tawa kecil menghias.

Ray melompat berdiri dan merentangkan tangannya ke samping lebar-lebar. "Tenang, pintu maaf gue lebih gede dari ini." Ia menyeringai lebar.

"Thanks, Ray!" Netta melambai dan bergerak menjauh.

"Sama-sama," lirih Ray menjawab.

Ada hening menjeda ketika ia menarik tas ke atas dan memakainya. "Belom pernah jatuh cinta, ya?" Masih dengan suara pelan pemuda itu bicara dengan dirinya sendiri. "Lo aja yang belum nyadar."

Langkah kakinya pun terseret lunglai di sepanjang koridor.

💖💖

"Jadi, hari ini nggak diantar pulang sama pacar kamu?" Papa memulai topik pembicaraan saat makan malam yang langsung membuat Netta tersedak.

Dengan gerakan santai Papa menyodorkan segelas air putih dingin sembari menahan senyum. Ia sangat senang berhasil menggoda Netta. Harus pria akui, kemarahan Netta kemarin membuat hatinya gundah gulana seperti lagu era 80-an.

Hati gundah gulana, karena datang sunyi meeencekaaaam ....

Resah hari gulita,di kesunyian malam yaaang kelam ....

Selama ini Netta tak pernah melakukan perlawanan apa pun padanya. Setiap permintaan, selalu ditaati dengan senyum yang tak pernah absen menghias. Baru kemarin putri satu-satunya melakukan penolakan bahkan tampak sangat marah sekaligus kecewa.

Papa menepuk-nepuk punggung Netta penuh kasih saat gadis itu meminum air sampai habis.

"Papa, ih!" Netta memukul lengan papanya manja. Bibir yang dimajukan ke depan membuatnya terlihat semakin menggemaskan di usianya yang menginjak 18 tahun ini. "Siapa yang pacar?"

"Justru Papa tanya. Mana yang pacarmu? Ray apa Aru?" Senyum jahil mau tak mau kembali dipamerkan.

Lagi-lagi Netta berusaha tak acuh dan menyuapkan kembali ayam bakar kecapnya. Gadis itu mengunyahnya dengan hati-hati dan menggantung pertanyaan Papa tanpa jawaban.

END Monokrom x Akankah Asa Terhalang Warna?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang