Monokrom - 14 - Duka

3.8K 733 212
                                    

KISAH SEBELUMNYA

NETTAA!!” Suara menggelegar terdengar tepat ketika Netta turun dari motor dan menerima kembali tasnya.

“Pa-pa….” Suara Netta mencicit.

“Malam, Om. Saya ….”

“Diam! Beraninya kamu ngajarin anak saya hal nggak bener! Jam berapa sekarang?! Dasar cowok nggak tahu malu!”

“Bukan begitu, Pa….”

“Diam! Masuk rumah!” Papa masih berteriak.

“Masuk aja. Gue nggak apa-apa.” Ray menggerakkan kepalanya.

Netta hanya bisa pasrah dan menunduk melewati Papa yang masih terlihat murka.

“Saya nggak peduli! Kalian nggak boleh ketemuan sama sekali mulai sekarang. Titik!”

Seiring langkah pria paruh baya itu menyusul Netta ke dalam rumah, Ray hanya bisa membeku di tempatnya berdiri.

Seiring langkah pria paruh baya itu menyusul Netta ke dalam rumah, Ray hanya bisa membeku di tempatnya berdiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Netta langsung berlari ke dalam kamar. Sayang, belum sempat Netta mengunci pintu, Papa sudah mengekor ketat di belakang.

“Papa mau ngomong.” Tanpa dipersilakan, Papa langsung duduk di kursi komputer. Ia membiarkan putri tunggalnya mengempaskan diri untuk duduk dengan kasar ke kasur.

Wajah Netta ditekuk dengan tangan memeluk bantal ungu ukuran besar. Tampak jelas gadis itu sedang ngambek berat. Matanya sama sekali tak mau ke arah Papa yang kini terlihat salah tingkah.

Pria itu menyalakan pendingin ruangan. Angin yang mulai mengembus tak juga menetralkan gerah yang tercipta.

“Kamu marah?”

Netta menelusupkan wajah ke dalam bantalnya. Pura-pura tak mendengar. Hatinya terlalu sakit. Harus diakui memang dia lalai tidak memberitahu Papa kalau akan pulang malam. Mewarnai tugas yang penuh dengan detail membuatnya lupa waktu. Apalagi tenggat sudah sangat dekat. Lusa pekerjaan itu harus dikumpulkan, maka tak ada lagi waktu untuk menunda.

Belasan misscall dari Papa tentu menandakan pria itu sangat cemas. Ponsel yang lupa dinyalakan juga salah satu penyebabnya.

Namun, tindakan Papa yang sama sekali tak memberi kesempatan untuk menjelaskan, sangat membuat hati Netta dongkol. Gadis itu bukan tipe yang bisa membantah perkataan Papa, tapi juga bukan tipe yang bisa tetap tersenyum saat dimarahi untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu menjadi masalah.

Kini dia hanya bisa menutup wajah dan telinga rapat-rapat. Ia tak ingin mendengar Ray dijelekkan seperti tadi lagi.

“Wah, beneran marah.” Papa bangkit dan duduk di sisi Netta.

END Monokrom x Akankah Asa Terhalang Warna?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang