"Bang ... bangun Bang." jemari kecil Sobirin mengguncang bahu kakaknya yang tengah tertidur di atas dipan.Dengan mata malas Soleh terbangun.
" Ibu dihajar Bapak, Bang." lirih sang adik.
Seketika mata ngantuk itu terbuka lebar. Lalu dadanya berdetak kencang, hatinya bingung tak karuan.
Hal yang sama telah terjadi berulang kali. Namun tetap saja menyisakan trauma. Hati kecilnya tak mampu menerima ketika wanita yang susah payah melahirkannya diperlakukan sedemikian kejam oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung dan penolong.
"Dasar kamu wanita sundal! Mentang-mentang bisa cari duit, mau foya-foya kamu, ya. Dasar jalang! Seandainya dulu aku tidak dijampi jampi bapakmu, aku tak sudi menikah denganmu." terdengar suara teriakan dari arah ruang tamu.
Meski sakit dan bingung, Soleh mencoba berpikir dengan kepala dingin. Ditatapnya adik bungsunya yang terlihat gemetar ketakutan. Mendengar suara teriakan mengerikan itu.
"Bi ... tolong ambilkan celengan mas." Sobirin cepat-cepat berlari mengambil celengan ayam jago yang terbuat dari tanah liat.
Itu adalah tabungan kakaknya yang sudah ia simpan selama berbulan-bulan. Soleh pernah berjanji akan membelikannya sebuah bola bila tiba saatnya dibuka nanti.
"Nggak usah takut, Bi. Bapak mungkin cuma lagi capek aja. Nanti pasti bapak kalau sudah dibuatkan kopi nggak teriak-teriak lagi." hibur Soleh pada adiknya.
Sobirin hanya mengangguk, ia masih ketakutan. Otak kecilnya belum mampu mencerna apa yang kakaknya sampaikan. Yang ia tahu sekarang, Ia hanya merasa takut.
Dengan tenang Soleh keluar dari kamar membawa celengan kesayangan.
Segera dipeluk dan direngkuhnya tubuh sang bapak yang tengah memegang sebatang kayu jati sebesar lengan Sobirin. Sementara sang ibu tergeletak tak berdaya di lantai. Menahan rasa sakit di sebujur badan. Mungkin juga di hatinya.
Sekuat tenaga Soleh mencoba menahan bulir bening yang hampir jatuh. Dikecupnya tangan Sang Bapak yang tengah naik pitam. Lalu dipapahnya tubuh tinggi tegap itu ke arah kursi ruang tamu.
"Sabar, Pak. Ndak usah marah. Ini Soleh ada sedikit uang untuk mengganti uang yang sudah dibelanjakan ibu." ucap Soleh menenangkan.
"Bapak tenang, ya. Soleh buatkan kopi nggih?" tawarnya.
"Ya udah sana." bergegas ia membuatkan kopi juga secangkir teh pahit untuk ibunya.
Dengan cekatan pemuda lima belas tahun itu meladeni sang ayah. Tak lupa sebungkus rokok sebagai pendampingnya.
Selanjutnya Soleh segera menolong sang ibu. Memapahnya perlahan menuju kamar. Di sanalah semua air mata yang tertahan ia tumpahkan.
Tergugu tanpa suara di samping tubuh ibunya yang tergolek lemah. Babak belur usai dihajar suami sendiri.
"Sabar, Le. Sabar ... ini ujian untuk kita." hibur sang ibu menenangkan.
Namun membuat pemuda yang mendengarnya justru semakin tergugu.
"Ibu Ndak benci sama bapak, Bu?"
"Husy! Beliau itu tetap bapakmu. Kamu harus hormat dan patuh apapun sikap beliau pada kita. Lagipula ini semua salah ibu. Memang ibu yang beli parfum mahal tanpa seijin bapakmu. Bulek Rini sedang butuh uang. Ia tak punya apa-apa untuk dijual. Ibu hanya ingin meringankan sedikit beban bulek Rini." jelasnya panjang lebar.
Soleh mengerti, ibunya terlalu baik hati. Meski terkadang itu menyakiti dirinya sendiri. Ibunya adalah putri seorang alim ulama yang terkenal akan kelembutan hatinya. Sayangnya, seringkali dimanfaatkan oleh kerabat dan teman dekat.
"Tapi bulek Rini kan lebih kaya dari kita Bu. kita yang lebih membutuhkan uang itu. Bukan bulek Rini." sanggah Soleh.
"Kaya atau tidak bukan jumlah harta yang menentukannya Le. tetapi rasa syukur dan puas diri yang kita miliki atas pemberian Allah. Itulah yang membuat kita merasa kaya. Nggak apa-apa ... ibu lihat bulek Rini memang benar-benar butuh uang. Lagipula mana tahu kalau di belakang kita bulik punya tanggungan yang lebih besar. Kalau tidak, mana mungkin orang kaya sepertinya mau minta tolong sama ibu."
"Tapi ..." sela Soleh yang segera dipotong cepat oleh jawaban sang ibu.
"Sudahlah. Biarkan Allah yang membalas. Allah lebih mampu membalas perbuatan hamba-Nya daripada makhluk-Nya yang lemah. Kalau kamu berbuat kebaikan, jangan pernah kau lakukan untuk mendapatkan balasan. Karena yang mampu membalas setiap perbuatan kita hanya Allah. Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Yang Maha melipatgandakan segala macam kebaikan." Soleh kehabisan kata. Ia selalu tak bisa mendebat ibunya.
Siapalah dirinya dibanding sang ibu yang telah hafal al-quran dan khatam ilmu hadits itu.
Bukankah orang-orang soleh di mata dunia memang nampak seperti orang-orang yang bodoh. Mudah saja ditipu dan diperdaya.
Setelah meminum teh pahit buatan Soleh, sang ibu segera bangkit dari tempat tidurnya.
"Siapkan air hangat buat ibu mandi, Le. Dan tolong ambilkan parfum yang baru ibu beli." perintahnya.
Soleh hanya bisa menurut. Ia tahu kemana ibunya akan pergi.
Benar saja, tak berapa lama ibunya sudah tampak cantik,bersih dan sangat wangi.
Berdandan seadanya, wanita itu menghampiri sang suami. Mengucapkan beberapa patah kata maaf dan mengecup punggung tangan suaminya dengan takzim.
Setelah itu mereka berdy berjalan beriringan memasuki kamar.
Soleh melihat kedua orang tuanya dengan tatapan sedih.
Dalam hati ia berharap semoga keadaan keluarganya bisa lebih baik. Ia berjanji pada diri sendiri akan menjaga keutuhan keluarga ini.
Bukankah itulah yang disebut dengan bakti.
Madiun, 01 Juli 2019
Syehrazata Al Asyary
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Syehrazata
EspiritualKetika hati terendam sunyi Di sanalah singgasana menanti Seorang Kekasih hati Saat hati berderak patah Luka itu menoreh prasasti Sesiapa yang datang menyingkap luka Dialah pemiliknya Sunyi adalah awal satu semarak Cinta yang menggelora selaksa surg...