Nasehat Bapak

3 0 0
                                        


Terik mentari membakar atas kepala. Aku dan bapak sedang berjalan beriringan tanpa alas kaki, seperti biasa. Sebuah tas kain usang penuh tambalan tersampir di pundakku. Berisikan benang nilon dan jarum sepatu. Serta peralatan lainnya. Menyusuri tepi jalan setapak demi setapak. Tak hiraukan panas yang menyengat.  Membuat kulitku yang hitam kian legam dan mengkilat karena keringat.

Sedari pagi kami berjalan, menawarkan jasa menjahit sol sepatu dan memperbaiki payung yang patah atau rusak. Namun apa daya hari ini belum dapat bagian rezeki. Mungkin esok hari, begitu hibur bapak selalu. Dulu, mungkin masih bisa kupercayai. Tapi, sekarang tidak lagi.

Lapar dan dahaga membuatku kehilangan asa. Kubanting tas lusuh itu. Membuat isinya berserakan. Seperti sampah yang tercecer di pinggir jalan.

"Sabar ... Kin," hibur bapak. Namun tidak membuatku merasa tenang. Malah makin meradang.

"Aku bosan, Pak. Aku sudah bosan hidup miskin," sungutku. Padahal sebelumnya aku tak pernah berkata kasar. Biarlah kali ini aku ingin mengungkapkan segala kekesalan. Toh bapak tetap tak bergeming. Beliau kelewat sabar. Kelewat betah miskin. Sayangnya aku tidak. Aku tak sudi terus menerus hidup kere begini.

"Miskin atau tidak tergantung keyakinan kita, le."

"Aahh ... keyakinan apa, Pak. Pada siapa? Setahuku di dunia ini tidak ada yang lebih meyakinkan daripada uang. Daripada harta. Dan sayangnya kita tidak punya. Melarat. Kere kita, Pak."

"Orang sehat itu kaya, le. Percayalah. Tidak ada yang lebih berharga ketimbang kesehatan setelah yakin dan iman."

"Sehat kalau ke sana sini cuma gali lubang tutup lubang buat apa, Pak? Tiwas capek. Gak ada gunanya. Gak ada harganya. Percuma." Aku malah makin sebal dengan ceramah bapak. Memang susah ngomong sama orang tua. Gak nyambung.

Apa enaknya sih, hidup miskin bin melarat bin kere kayak gini. Lebih baik aku cari penghasilan sendiri. Ketimbang ngekorin bapak ke sana sini. Capek pasti. Rejeki masih teka-teki.

Terdengar suara adzan dari toa masjid terdekat. Bapak mengajakku mengambil air wudhu. Melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Tak lupa beliau memungut 'alat perang' kami yang berceceran karena ulahku tadi. Walaupun sebal, aku menerima kembali tas itu dan membawanya. 'Kapan bisa kaya kalau usaha cuman kayak gini.' Gerutuku dalam hati.

*****

Sejak hari itu aku memutuskan untuk mencari pekerjaan sendiri. Aku ingin menabung untuk modal buka usaha. Bapak dan emak pun mengizinkan.

Berkat kerja kerasku akhirnya aku bisa membuat sebuah warung kecil-kecilan, untuk emak. Sengaja kulakukan itu agar aku tenang ninggalin emak dan bapak. Aku berniat untuk kejar paket B dan mengadu nasib di perantauan. Mencari rejeki yang lebih besar lagi.

Sebelum berangkat bapak memberikan tausiah panjang kali lebar kepadaku. Aku yang sudah hafal dengan isi ceramah itu hanya mengangguk berusaha menghargainya. Sebenarnya kasihan juga meninggalkan mereka. Apalagi aku masih punya tiga orang adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Karena memang hanya sebatas itu orang tua kami sanggup menyekolahkan.

Akhirnya aku berhasil keluar juga dari kampung terpencil ini. Berbekal uang tabunganku ditambah uang simpanan emak. Kubulatkan tekad untuk menaklukkan ganasnya kehidupan metropolitan. Aku memiliki tetangga yang sudah lebih dulu sukses di sana. Dia juga yang mengajakku ikut dengannya.

Sebagai pendatang di ibu kota, nasibku tergolong mujur. Mungkin karena doa emak dan bapak yang tak henti mengalir. Aku selalu menyisihkan sebagian penghasilan. Berusaha hidup hemat demi bisa mengirimkan uang ke kampung. Hidup melirit sudah menjadi 'sego jangan' untukku.

Awalnya aku hanya kuli bangunan di sini. Aku tidak indekos, melainkan menginap di masjid terdekat. Tentu atas seizin marbot. Dengan syarat mau bersih-bersih masjid sebagai gantinya. Bekerja keras sudah menjadi watak orang-orang miskin sepertiku.

Antologi SyehrazataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang