"Bonekanya bagus ya, kak?!" serunya dengan tatapan yang tak lepas dari sebuah boneka wanita mungil nan cantik di balik kaca.
Binar mata itu mengatakan segalanya."Suka?" tanyaku. Meski telah tahu apa jawabannya.
Kueratkan genggaman saat ia mengangguk berkali-kali. Memamerkan sederet gigi kelinci. Lucu sekali.
"Kalau gitu, Miya yang rajin ya. Bantuin Mas Abit jualan kue Bu Uni. Biar bisa beli boneka cantik itu," bujukku. Berbohong. Tak kuasa kehilangan pendar ceria di matanya.
"Ya. Miya janji gak akan nangis. Gak akan merengek minta pulang. Gak akan ngeluh kaki Miya kecapean. Miya janji bantuin Mas Abit jualan kue Bu Uni sampai habis," sahutnya penuh semangat. Terasa ada segenang yang hampir jatuh di sudut mata. Sekuat tenaga kutahan agar tak menangis di hadapannya.
Biarlah gadis kecilku memimpikan dunia, yang hanya berisi keindahan di dalamnya. Mas-nya ini yang akan mewujudkannya.
Kugandeng tangan mungilnya menyusuri emperan toko. Tempat benda-benda cantik dan makanan lezat dipamerkan. Membuat mata anak-anak miskin seperti kami menatap penuh puja. Kemudian menjemputnya di dalam mimpi.
Hari ini, Miya sangat manis. Dia tak henti menebar senyumnya yang ajaib pada para pembeli. Hingga dagangan kami menjadi laris. Dan cepat habis. Biasanya, aku harus berkeras membujuk dan menenangkan. Anak perempuan usia empat tahun yang menangis karena kelelahan sepanjang perjalanan. Maka mendekat pun, para pelanggan merasa enggan. Tapi lihat dia hari ini? Bahkan senyumnya membuat para malaikat datang menurunkan rejeki.
Adikku memang memesona. Senyumnya mampu menghapus duka lara. Tawanya secerah mentari pagi. Membuat siapa saja gemas tuk sekedar menoel pipi balita gembul itu.
Alhamdulillah.
Kami bisa pulang lebih cepat hari ini. Bu Uni juga berbaik hati memberikan sebungkus nasi untuk kami. Sebagai bonus karena telah berhasil menjual kue sampai habis.
Tak sabar kaki kecil kami berlari menuju rumah. Ingin segera berbagi sebungkus nasi yang lezat dan mewah. Emak pasti senang sekali. Karena sejak pagi belum sempat masak. Kata Beliau beras di dalam gentong sudah habis.
Allah memang Maha Adil. Berulang kali kuucap hamdalah. Hingga perutku yang lapar terasa agak kenyang karena begitu senang. Persis seperti ketika mendekati waktu buka puasa.
Kubuka pintu triplek yang mulai lapuk itu. Kupindai sekeliling. Mencari keberadaan Emak. Nihil. Emak pasti sedang memulung sampah di sekitar sini. Rumah kami memang terletak di samping tempat pembuangan akhir. Di sinilah awal kehidupan kami yang aman dan damai.
Dulu, Emak selalu bertengkar dengan bapak. Karena pulang tak bawa uang. Dan jalannya sempoyongan. Tak jarang bapak memukuli Emak. Emak tak pernah membalas.
Tapi malam itu, kulihat bapak tergeletak di lantai ruang tamu. Dan Emak buru-buru mengajakku pergi sambil menggendong Miya yang masih bayi. Malam itu Emak menangis. Karena sebentuk luka dilengan bayinya. Akupun ikut menangis melihatnya.
Lalu Emak menemukan tempat ini. Gubuk yang ditinggalkan pemiliknya. Yang telah pergi entah kemana. Yang jelas, aku berterima kasih sekali padanya. Karena mengizinkan kami tinggal di sini. Tanpa meminta uang sewa. Seperti Budhe Lita. Yang kerap datang menagih uang pada Emak.
Meski rumah yang kami tinggali adalah rumah nenek. Ibu kandung dari bapak.
"Miya. Tunggu Mas dan Emak pulang, ya. Nanti kita makan sama-sama. Enakan disuapin Emak kan daripada makan sendiri?" ujarku. Yang dijawab dengan anggukan kepala dan senyum kelincinya.
Kutemukan Emak disela tumpukan sampah yang tinggi menjulang. Bau menyengat sisa makanan yang membusuk menusuk hidung. Namun tak dihiraukan. Beliau tetap mengais sampah dengan sebatang kawat yang dibengkokkan. Tangannya bergerak tak selincah biasanya. Beliau lapar. Akupun merasakannya.
"Mak," panggilku. Kepala bertutup topi lusuh itu menoleh. Wajah yang tertutup secarik sapu tangan usang itu menampakkan binar matanya ketika melihatku. Tangannya yang bebas melambai. Lalu menurunkan cadar bututnya.
Segera kuhampiri dan kugandeng. Mengajaknya pulang. Menikmati sarapan yang merangkap makan siang.
Puas sekali melihat seluruh keluarga bisa makan. Meski tak sepenuhnya kenyang. Setidaknya hari ini kami tidak kelaparan. Uang sepuluh ribu masih ditangan. Uang itu akan cukup untuk membeli beras buat makan seharian. Meski hanya dengan lauk garam.
****
Teriknya mentari siang hari tak menyurutkanku mengais rejeki. Usai makan, Emak bergegas ke warung membeli beras. Dan satu papan tempe hasil dari menjual sampah plastik yang tak seberapa tadi.Tercium aroma nasi yang dimasak serta bunyi riuh penggorengan saat aku berangkat menenteng perlengkapan mulung Emak. Ingin mencari boneka Barbie bekas yang mungkin dibuang pemiliknya karena bosan setelah memiliki mainan baru.
Bukit-bukit sampah bertumpuk menggunung bagai lembah asing tempat makhluk-makhluk aneh menyambung nyawa. Di bawah sana, kulihat sebuah mobil pengeruk sampah beraksi layaknya sang raksasa yang memamerkan kekuasaannya. Di atas makhluk kasat mata yang meregang nyawa dibawah kaki besinya. Perlahan diruntuhkannya bukit-bukit limbah itu. Diangkut sedikit demi sedikit ke dalam sebuah bak truk besar yang menunggu dengan setia di sampingnya.
Dari sini kulihat sebentuk benda di antara tumpukan limbah rumah tangga itu. Sebuah mainan usang seperti yang kuinginkan. Segera bergegas menghampirinya. Sebelum tenggelam dalam tumpukan baru.
Tanpa pikir panjang kupanjat bukit terdekat untuk mencapai bak truk yang lumayan tinggi itu. Berhasil.
Dapat. Kuacungkan benda itu bak seorang atlet yang memenangkan trofi juara. Sebelum sempat kuberanjak, suara decitan engsel besi yang berderak menghantam kesadaranku.
Gelap.
****
Kupandangi wajah cantik nan mungil itu dengan gemas. Garis lengkung lebar yang menampakkan sepasang gigi kelinci sungguh menggemaskan. Tangan kecilnya tak henti menimang benda usang itu. Memujanya layaknya mainan baru.Tak kuhiraukan omelan Emak yang sepanjang hari mengkhawatirkanku. Yang ditemukan nyaris pingsan dalam tumpukan sampah di dalam bak truk.
Beruntung seorang petugas menyadari keberadaanku. Dan secepatnya menolong.
Kalau tidak ....
Sudahlah. Aku tak ingin mengingatnya. Itu semua sepadan untuk senyum kelinci adik Miyaku.
Cahaya hidupku. Kebanggaanku.
#For_my_beloved
#Baby_princess_girl
#Armiya_Fuadati_Khulma
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Syehrazata
SpiritualKetika hati terendam sunyi Di sanalah singgasana menanti Seorang Kekasih hati Saat hati berderak patah Luka itu menoreh prasasti Sesiapa yang datang menyingkap luka Dialah pemiliknya Sunyi adalah awal satu semarak Cinta yang menggelora selaksa surg...