Bidadari

2 1 1
                                        

Seandainya setiap orang diizinkan memilih. Hidup sesuai dengan yang diingini. Tentu mereka tak akan sudi, terlahir dengan sebuah kekurangan. Namun sekuat apapun manusia mencoba melawan kehendak Tuhan. Tetap tidak akan mampu menggeser satu ketetapan yang telah terukir dalam 'Lauhul Mahfudz'.

Bagi sebagian orang, memiliki fisik sempurna adalah hal yang lumrah dan semestinya. Namun sebagian yang lain hanya mampu memimpikannya. Sayangnya mereka yang diberi kesempurnaan seringkali pongah dan merendahkan siapa saja yang dianggap tidak selevel dengan dirinya. Termasuk aku.

Aku selalu membenci kenyataan, terlahir di keluarga miskin ini. Keluarga yang kacau. Bukan hanya karena masalah ekonomi. Melainkan juga dengan kehadiran seorang anggota keluarga yang abnormal.

Ya, kakak perempuanku seorang penyandang disabilitas. Meski secara fisik ia sempurna. Bahkan cenderung bongsor. Tetapi otaknya mungkin hanya setara dengan anak TK. Mungkin juga balita.

Sungguh aku sangat muak dengan keberadaannya. Tak terhitung sudah biaya yang dikeluarkan bapak dan ibu untuk mengobatinya. Segala macam cara telah dicoba. Setiap saran yang datang telah ditempuh. Tapi tetap saja, tidak ada kemajuan yang berarti. Dan yang lebih parahnya lagi, sebagai adik lelakinya aku harus ikut menanggung malu. Serta harus siap sedia menjadi pengasuh bayi besar sepertinya. Ketika kedua orang tua sibuk bekerja. Mencukupi kebutuhan kami juga membayar hutang yang kian menghimpit setiap harinya.

Seringkali hanya bisa menatap iri pada anak-anak sebayaku yang berlarian bermain dengan riang di luar sana.

Sementara aku harus bersabar membereskan barang yang berantakan karena ulahnya. Tak jarang ia memecahkan gelas dan piring yang terjangkau olehnya.

Kakak memang memiliki kelainan motorik. Dimana dia tidak bisa memegang sesuatu dengan sempurna. Tangannya selalu gemetaran ketika menyentuh dan coba menggenggam benda pecah belah itu. Dan siapa yang akan membereskannya kalau bukan adik satu-satunya ini. Sebelum dia terluka dan membuat panik seisi rumah.

Aku harus ekstra sabar dalam mengasuhnya.

Untung saja semua itu tidak mengurangi prestasiku di sekolah. Di sela waktu menjaga kakak, aku selalu menyempatkan untuk belajar. Tak ingin masa depanku suram seperti keluarga kami.

Alhamdulillah. Menginjak masa SMP. Perekonomian kami semakin membaik. Bapak dan ibu mulai berhenti mencoba pengobatan yang seringkali masih disarankan beberapa orang terdekat. Orang tuaku sudah menerima keadaan Mbak Vita dengan lapang dada.

Mungkin ini memang sudah takdir. Mereka yakin Allah Maha Adil. Dia tidak akan menguji hamba melebihi batas kemampuannya.

****
Selama menempuh pendidikan SMP dan SMA aku banyak menerima beasiswa.
Bahkan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi nyaris tanpa biaya. Karena setiap bulan mendapat uang saku untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai bagian program beasiswa sebuah BUMN.

Beban keluarga semakin berkurang. Bahkan aku bisa menempuh pendidikan dengan tenang.

Semenjak lulus dan mulai bekerja, karirku terus meningkat secara signifikan.

Takdir mempertemukanku dengan seorang wanita shalihah yang jelita raga juga jiwanya. Kania Humaira. Dengan segala keterbatasan kondisi keluargaku, ia menerima dengan ikhlas. Bahkan setelah melihat langsung kondisi kakak perempuanku. Saat itu, ia hanya berkata.

"Subhanallah Mas, kau memiliki saudari seorang calon penghuni surga,"  luruh sudah seluruh hatiku dikakinya. Dia adalah anugerah terbesar yang Allah berikan padaku setelah semua lara dan derita.

****

Aira dibesarkan dengan limpahan kasih sayang. Keluarga besarnya memiliki landasan agama yang paripurna. Tak mengherankan apabila orang tuanya tidak mempermasalahkan kekurangan yang kumiliki. Sungguh membuatku terharu. Dan tak henti mengucap syukur.

Antologi SyehrazataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang