Minah. Wanita bertubuh mungil dan kurus itu terlihat ragu. Dengan menahan malu ia berjalan mendekati Lastri. Tetangga sekaligus majikannya selama sepekan ini. Terkena stroke di usia yang masih tergolong muda, membuat Lastri hanya bisa duduk seharian di atas kursi roda. Praktis segala pekerjaan rumah tangga diserahkan kepada Minah.Hidup di bawah garis kemiskinan membuatnya harus rela melakukan segala macam pekerjaan. Termasuk menjadi pembantu di rumah tetangga sendiri. Wanita paruh baya itu butuh banyak uang untuk biaya sekolah kedua putrinya yang duduk di bangku SD dan SMP. Biaya pendidikan cukup tinggi untuk ukuran orang miskin sepertinya, meski telah mendapat bantuan dari pemerintah. Tetap saja dia terlilit hutang dimana-mana. Sudah bukan rahasia bila Minah si janda miskin, suka ngutang kemana-mana.
"Yu, uang ongkosku mana? Sudah tiga hari belum kau bayar. Aku dan anak-anak butuh makan, yu," lirih Minah meminta haknya.
"Enak saja mau minta ongkos. Hutangmu yang kemarin saja belum kau bayar. Uang satu juta yang kau hutang masih belum berkurang. Malah minta ongkos. Harusnya aku yang nagih uangku padamu!" bentak Lastri pada Minah yang seketika memucat mendengarnya.
"Astagfirullah, kapan aku pernah hutang sebanyak itu padamu, Yu. Setahuku, hutangku kemarin cuma 300 ribu. Kok malah jadi sejuta?" Dengan panik Minah berusaha membantah tuduhan Lastri. Sambil menahan sesak dan isakan. Tak menyangka tetangga dekatnya begitu tega pada dirinya. Keterlaluan. Walaupun banyak hutang tapi ia sudah membanting tulang berusaha membayar. Tak habis pikir bagaimana mungkin dirinya disangka berhutang sebanyak itu. Melihat uang sejumlah itupun belum pernah. Minah mengurut dadanya yang berdenyut sakit.
"Halah, gak usah alesan. Orang miskin kayak kamu emang gak tau terima kasih. Bilang aja gak mau bayar. Pakai bilang gak pernah hutang lagi." Bantah Lastri tak mau kalah.
"Eh eh, ada apa ini, Nduk?" Suminten ibu Lastri segera datang tergopoh-gopoh begitu mendengar putri kesayangannya berteriak-teriak. Wanita berusia 60 tahun itu selalu siap siaga jika setiap saat putrinya berteriak menginginkan sesuatu. Suami Lastri sedang jualan di pasar. Menjaga toko kelontong warisan keluarga. Praktis tugas menjaga Lastri diserahkan padanya. Memang keluar besar mereka masih tinggal di kampung yang sama. Lastri pun bertingkah layaknya bayi besar bila di dekat ibunya.
"Tuh, mbok. Minah minta bayaran. Padahal utangnya yang kemarin belum dibayar," adu Lastri pada simboknya.
"Dasar janda k*r*. Mau nyelimur (mangkir) kamu ya. Seenaknya ngutang sana sini gak mau bayar. Mau kamu kujebloskan ke penjara? Iya?" Suara Suminten menggelar seperti halilintar mendengar pengaduan anak perempuannya.
"Demi Allah mbok Sum. Saya nggak ngutang sebanyak itu. Saya cuma ingat ngutang 300 ribu. Itupun belum dipotong gaji saya yang tiga hari. Kasihani saya mbok Sum. Bagaimana saya ngasih makan anak-anak kalau begini caranya?" Isak tangis Minah tak tertahan lagi. Ia bersimpuh di lantai dan menangis tersedu-sedu. Meratapi nasibnya yang tak beruntung.
Seorang diri merawat dua orang anak tidaklah mudah. Apalagi cibiran kerap dilayangkan padanya karena berstatus sebagai janda di usia yang tergolong muda. Walaupun wajahnya biasa saja, tetap saja banyak gunjingan. Pun juga godaan dari lelaki hidung belang. Susah payah mencari rizki halal tetap saja dipandang sebelah mata. Apalagi kalau sampai berbuat nista. Pasti kedua anak perempuannya yang jadi korban. Minah bertahan dalam segala kesusahan, hanya agar kedua putrinya bisa menatap masa depan.
Tapi kali ini sakit hatinya sudah tak tertahan. Rasa sakit di hatinya mengalahkan perih di lambungnya yang terlilit lapar. Hingga keluarlah kata-kata kutukan itu.
"Astagfirullahal adzim," Minah menghirup nafasnya yang terputus sengal," baiklah, yu. Kalau memang aku memiliki hutang sejumlah itu padamu. Akan aku bayar. Tapi aku tidak bertanggung jawab jika esok hari terjadi sesuatu padamu." Kutuk wanita miskin itu. Seraya berlalu diiringi dengan hati teriris sembilu.
'Duh, gusti. Sebesar inikah cobaan yang Kau berikan. Tolong berikan hamba kekuatan untuk menjalani esok hari.' Jerit batin Minah, menghiba pada Tuhan.
****
Perseteruan Minah dan Lastri menjadi perbincangan di kampung itu. Semua orang yang mendengar awalnya berspekulasi bahwa Minah hanya berusaha mangkir dari hutang seperti biasa. Namun kasak-kusuk itu hanya bertahan sebentar saja.Keesokan harinya, Lastri dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya semakin kritis setelah bertengkar dengan Tarjo, suaminya. Yang cenderung abai terhadap keadaan istrinya. Banyak uang telah digelontorkan demi kesembuhan Lastri, namun segala macam pengobatan seolah tak mampu menyembuhkan penyakitnya.
Keluarga Suminten dikenal kaya di kampungnya karena setiap bulan mendapat kiriman uang dari Jumirah, menantunya. Dan uang itu digunakan suaminya yang adalah adik Lastri untuk buka usaha. Suminten semakin jumawa dengan kesuksesan anak lelakinya. Namun sayangnya kesuksesan itu disalahgunakan oleh Juki.
Sebagai lelaki normal, ia tentu tak dapat menahan gejolak darah muda yang mengalir deras di tubuhnya yang padat berisi. Sedangkan sang istri pergi merantau di luar negeri. Dengan kantong tebal yang ia miliki, ia bisa jajan sesuka hati. Toh tidak ada yang melarang.
Kebiasaan Juki akhirnya terendus oleh mertuanya. Tentu mereka tidak diam saja melihat kelakuan bejat mantunya. Jumirah menggugat cerai Juki, dan menyita mobil serta tanah yang mereka beli dari hasil keringat Jumirah. Dan dalam sekejap, usaha Juki pun kolaps. Hutang menumpuk di mana-mana. Membuatnya terpaksa kabur dari kampungnya menghindari para penagih hutang.
Suminten pun kehilangan akal sehatnya. Karena memikirkan kedua anaknya yang tak keruan. Lastri yang semakin hari semakin kurus tinggal tulang berbalut kulit. Juki yang minggat entah kemana. Dan suami Lastri yang setiap hari semakin bebas karena tak ada lagi yang melarangnya bermain gila di luar sana.
Bahkan suami Suminten pun jatuh sakit karena terlalu banyak pikiran.
Tiada yang tersisa selain nestapa yang menyedihkan. Seolah mereka sedang menghadapi pengadilan Tuhan. Yang membela hamba-Nya yang tak berdaya.
Tidak seorangpun dapat memilih, di mana dan bagaimana akan dilahirkan dan menjalani kehidupan. Maka tak semestinya seseorang berbuat dzalim atau menganiaya saudaranya yang muslim. Karena bisa jadi, dia yang berada di posisi itu esok hari.
Diantara ciri-ciri ahli surga adalah mereka yang suka berbuat baik kepada tetangga. Entah itu di dunia nyata atau maya. Semua akan tercatat tanpa sisa. Berhati-hatilah dalam melangkah. Agar kau selamat sampai akhiratnya.
Madiun, 09 Agustus 2019.
By Syehrazata
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Syehrazata
SpiritualKetika hati terendam sunyi Di sanalah singgasana menanti Seorang Kekasih hati Saat hati berderak patah Luka itu menoreh prasasti Sesiapa yang datang menyingkap luka Dialah pemiliknya Sunyi adalah awal satu semarak Cinta yang menggelora selaksa surg...