Menang Lomba

5 0 0
                                    

"Siaap .... Sedia .... Mulaaaiii!"

Aku melompat ke atas. Meraih makanan ringan renyah dan gurih itu dengan sekali gigitan. Tubuhku yang tinggi besar memudahkanku untuk meraih benda yang digantung dengan seutas tali rafia berwarna merah. Berjarak satu setengah meter di sampingku ada anak-anak lain yang tengah berjuang dengan keras untuk mengikuti jejakku.

Mulutku fokus mengunyah dengan cepat. Sekali gigit saja hampir setengah bagian kerupuk sudah kulahap. Sisanya kuhabiskan dengan dua kali gigitan.

"Pemenangnya adalah ... Rakaa!" teriak Adi,  pembawa acara lomba sekaligus sahabat baikku sambil mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi.

"Raka ... Raka ... Raka ..." sorak sorai para gadis yang setia menonton jalannya pertandinganku. Kulambaikan tangan dan tersenyum lebar, Sesekali melakukan hi-fi pada mereka yang antusias mendukungku. Siapa tak kenal Raka, cowok most wanted paling diincar di sekolah. Kunikmati saja semua perhatian mereka. Tak peduli dengan tatapan para jones yang seolah ingin memutilasi tubuh ini. Jah. Sirik tanda tak laku cuy.

"Elah, gitu aja bangga, belum juga final," cibir seorang gadis paling manis di antara kembang gula. My lovely honey bunny Alfina.

Tak seperti teman-temannya yang selalu histeris melihatku, ia cuek aja. Kedua tangan bersidekap di dada, memasang wajah super dingin dan acuh. Ingin sekali kugigit bibir tipisnya yang mengerucut seperti Donal bebek. Gemas pada tetangga depan rumah yang juteknya nggak ketulungan.

"Lagian, cowok kok ikutan lomba makan kerupuk. Malu-maluin tau. Gue yang cewek aja ogah," sindirnya pedas kayak boncabe level sembilan belas.

Kuraih pundak mungil itu gemas. Menunduk, kubisikkan sesuatu di telinganya.

"Masak iya, Gue boleh makan mulut pedas Lo?"

Adduh!

Sebuah tendangan kurasakan mengenai tulang keringku. Mayan cuy. Ni cewek satu galak banget yak? Macam singa betina habis beranak.

"Dasar omes!" sungutnya sambil berlalu. Yah. Gue ditinggalin. Musnah sudah semangat buat nerusin lomba.

Ah.

Biarin aja lah. Tar juga balik sendiri. Mending gue kelarin lomba gak penting ini. Kalau kalah tar gue diketawain lagi.

*****
"Rakaaa ...! Tungguin Gue!" teriak Alfina sambil lari-larian ngejar gue yang udah pewe di atas motor kesayangan. Sengaja gue gas agak pelan biar dia bisa ngejar-ngejar gue. Eaaa.

"Bukannya Lo lagi marah, ya, Fin?" ledekku sambil tersenyum jail. Kukedipkan sebelah mata padanya. Membuatnya bergidik jijik.

"Marahnya ditunda. Gue gak bawa duit. Mau nebeng sampek depan rumah," ujarnya tanpa rasa malu. Kakinya tetap berlari mengikuti. Ini cewek satu emang setengah jadi. Gak ada malu-malunya. Tapi, gue udah hapal sih. Justru disitulah keasyikannya. Godain cewek galak jadi-jadian yang gampang marah, tapi cepat lupa. Menggemaskan.

"Yaelah. Enak banget nebeng gratis. Enggak bisa begitu dong Neng ... Gue nih laki. Kudu ada harga diri. Seenaknya dibilang gratis. Emang suvenir, gratis?" godaku. Sumpah nggak pernah bosan lihat wajah ngambeknya yang galak.

Heran gue, makin galak makin cantik aja. Sungguh terlalu kau Alfina. Bikin gue gemes. Pengen geret ke KUA.

"Nih. Bayaran Lo kalau berani nolak gua!" Tinju kecilnya terkepal ke arahku.

"Eciee ... yang nembak gue duluan. Gak nolak kok Neng. Abang ikhlas," jawabku. Kembali mengedipkan kedua mata berkali-kali.

"Iiih. Serahh!"

Dan pantat indahnya sukses mendarat di jok belakang. Membuat jantungku seketika melakukan break dance di dalam sana. Walaupun cewek itu menjaga jarak, aku selalu punya cara untuk membuatnya mendekat.

Antologi SyehrazataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang