Ta'aruf

5 0 0
                                    

"Aku nyerah. Mas. Kita cerai aja." Kata-kata lirih yang keluar dari mulut istrinya seolah bagaikan petir yang menggelegar di siang bolong.

Meski ini bukan yang pertama kalinya bagi Rasyid. Tapi kata pisah itu selalu sukses menorehkan luka di hatinya. Ia merasa gagal sebagai seorang lelaki dan seorang imam bagi Rania. Kenapa susah sekali untuk menyatukan dua hati yang berbeda ideologi. Meski mereka terlahir dari latar belakang yang sama persis. Bertahun-tahun mengenyam pendidikan agama tak serta merta membuat mereka hidup harmonis dalam bahtera rumah tangga.

Hati yang baik saja tidak cukup membuat dua orang menyulam rasa yang sama. Cinta yang bahagia hanyalah untuk mereka yang telah purna berbagi jiwa. Bukan yang berbagi kehangatan di atas ranjang sebab keterpaksakan.

Perjodohan. Seringkali menjadi momok yang sangat menakutkan.

Saat seorang terlahir ke dunia, sudah ditetapkan untuknya tiga perkara. Rezeki, jodoh dan maut. Percaya atau tidak. Semua sudah ditetapkan dalam suratan suci bernama 'Lauhul Mahfudz'. Hanya saja, lika-liku kehidupan bagaikan teka-teki yang menyimpan sejuta misteri.

Seperti pernikahan Rasyid dan Rania. Rumah tangga mereka lebih mirip ganasnya arena perang ketimbang sebuah bahtera yang syahdu dan tenang. Pernikahan adalah sebuah ikatan yang bernilai ibadah untuk menyempurnakan iman. Jika pendidikan ilmu didapat melalui sekolah dan madrasah. Maka keyakinan dan keimanan ditempa melalui sebuah amanah. Amanah dalam cinta dan pengabdian yang suci dan sakral karena diikat atas nama Tuhan.

"Baiklah ..." lirih Rasyid pasrah, "kalau itu yang kau mau. Tapi jangan sampai perpisahan ini menyakiti buah hati kita. Mereka adalah lembar suci tanpa noda. Jangan pernah kau lukiskan kebencian di hati mereka yang rapuh. Itu saja permintaanku." Seolah dihujam belati ribuan kali. Itulah yang Rasyid rasakan kala mengucap kata itu. Kata yang termasuk dalam talak kinayah. Atau disebut juga 'cerai dengan kiasan'.

Hati Raniapun tak kalah tersayat perih dan nelangsa. Membayangkan kehidupan sang buah hati jika harus jauh dari ayah yang selama ini diidolakannya. Sekalipun pria itu selalu bersikap tegas dan dingin. Membuatnya seolah berada di dalam benteng yang jauh dari jangkauan Rania dan juga Reza. Buah cinta mereka.

Malam panjang itu Rania habiskan dalam isak tangis. Mencoba menyuarakan perih hatinya yang kesepian. Meski jiwa raganya telah dimiliki sang imam. Namun rasa yang tak kunjung  bermuara membuatnya menyerah membersamai pria yang mengikat janji untuk menjaganya sepanjang hayat itu. 

Lelah.

Hanya satu kata itu yang bisa mewakili luka hatinya saat ini. Pernikahan sejatinya bukan hanya tentang dua hati. Tetapi juga dua keluarga. Dan seringkali keberadaan pihak ketiga menyebabkan retaknya hubungan antara suami dan istri.

"Istri kamu itu males. Masih pagi udah pengen tidur mulu. Ora pantes. Ora ilok wong wedok jam segini udah mapan di kasur." Mendengar kata-kata ibu mertua yang diucapkan di hadapan keduanya membuat Rania sakit hati. Apalagi sang suami hanya berdiam diri. Tidak berusaha membelanya yang kelelahan setelah menjaga buah hati mereka yang masih balita. Sedang kini dirinya sedang berbadan dua.

Sebenarnya Rania bisa maklum jika ibu mertua komplain dengan sikapnya yang kurang cekatan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tetapi acapkali Rasyid ikut mendukung dan membenarkan kata-katanya ibunya. Tak urung membuat Rania semakin sedih dan sakit hati. Di tambah kondisi psikisnya yang sangat sensitif, maka gesekan kecil sanggup membuatnya tenggelam dalam rasa depresi. Apalagi kelembutan dan perhatian sangat jarang dia dapatkan.

Rania merasa down. Dunianya seolah runtuh ketika Rasyid lebih memilih untuk melepaskan hubungan ini ketimbang coba memperbaikinya. Wanita muda itu merasa dirinya tidak lagi berharga di mata sang suami. Yang sebenarnya diam-diam mulai jatuh hati padanya.

Wanita dan pria adalah dua makhluk yang diciptakan untuk saling melengkapi. Jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Dalamnya jurang perbedaan yang tidak pernah terjembatani membuat perpisahan kerap dijadikan solusi. Meski keduanya mulai saling mengisi.

Berulangkali Rania meratapi dan menyesali diri. Membenci takdir yang mempertemukan mereka. Namun apa daya ketika mereka benar-benar berjauhan. Rindu itu tak sanggup ia kendalikan.

Begitupun Rasyid. Sepekan sudah mereka hidup terpisah. Karena Rania memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dan jiwa lelaki itu seolah telah terlepas dari raga. Baru sepekan, dan rindu telah membelah hati hingga nyaris mati. Bagaimana jika satu purnama. Atau bahkan satu tahun.

Memilih mengalah dan menurunkan ego memang tak mudah. Tapi drama putus nyambung putus nyambung seolah menjadi sebuah kebiasaan.

Rania selalu merasa tidak pernah dimengerti. Sedangkan Rasyid selalu merasa tidak pernah dihargai. Lalu siapa yang pantas disalahkan dalam hal ini. Anehnya keduanya telah menjadi candu untuk satu sama lain. Meski pertengkaran tetap menjadi agenda rutin.

What's going on here?

Ada yang bilang, tidak peka karena kurang cinta. Tidak berharga karena tidak merasa penting.

Rania lelah. Ia ingin bersandar. Sepenuhnya. Seutuhnya. Sesuatu yang selama ini enggan ia coba. Karena takut akan penolakan dan cemoohan. Namun tidak ada pilihan bagi wanita berhati lemah sepertinya.

"Mas, lagi WA siapa?" Sebuah kata tanya yang sungguh sangat aneh yang pernah diucapkan Rania. Meski sebenarnya dia sangat tidak ingin tahu. Dengan siapa lelaki itu berbalas chat. Karena Rasyid hampir tidak punya teman selain para sahabat dari pesantren. Yang tentu semuanya adalah kaum Adam.

"Dari Fahri. Temanku," dan cerita-cerita lucu dan seru terus mengalir dari bibir Rasyid. Tak jarang ia tertawa dan tersenyum. Rania berusaha untuk ikut larut dalam cerita Rasyid. Meski sejujurnya di telinganya terdengar sangat membosankan.

Rania hanya mencoba, menjadi teman sebelum jadi seorang istri. Teman tidak akan sanggup saling melukai. Mereka akan coba saling mengerti. Itulah yang coba Rania pelajari. Memberi rasa nyaman kepada sang suami.

Karena suatu ketika Rania pernah membaca quote yang sangat indah dari gurunya.

"Pernikahan adalah proses ta'aruf seumur hidup. Jangan pernah berhenti mencoba terus memahami dan mengenali kekasihmu. Karena setiap orang sesungguhnya akan selalu berubah-ubah. Sesuai keadaan dan kebutuhan."

Iapun berhenti meratap dan berjuang untuk meraih kebahagiaannya. Orang yang tidak bahagia mustahil bisa membahagiakan orang lain. Maka, karena dirinya tidak merasa bahagia. Ia memutuskan membahagiakan orang yang seharusnya membahagiakannya.

Usaha tidak akan mengkhianati hasil. Rasyid merasa nyaman dan lambat laun mulai mengerti perasaan istrinya. Rania pun terus mencoba mengungkap setiap kegelisahan yang menggayuti hatinya. Karena pria memang bukan makhluk yang perasa. Mereka tidak akan mengerti jika sang wanita hanya tahu merajuk dan enggan bertegur sapa.

Rania yang serba bisa, cerdas dan mandiri bermetamorfosa menjadi Rania yang suka bergantung pada suami. Dan kenyataannya seorang suami memang memiliki kebanggaan tersendiri ketika merasa sangat dibutuhkan.

Kini tiada lagi bentakan dan hinaan. Yang ada adalah saling peduli dan pengertian. Apalah artinya cinta jika tanpa persahabatan. Cinta bisa pudar setiap saat. Namun persahabatan selalu erat melekat takkan khianat.

Hasrat dan nafsu bisa tersapu badai bosan. Tetapi kepedulian dan kasih sayang akan abadi di tengah kekeringan.

Cinta itu kini berganti nama menjadi persahabatan. Namun berpadu dengan syahdu dan hangatnya peraduan.

Suami. Adalah seorang imam. Seorang teman. Seorang pelindung dan yang senantiasa haus perhatian dan kasih sayang.

Seseorang yang keberadaannya kini jauh lebih utama daripada kedua orang tua. Seorang yang selalu menjadi tempat kembali dan tempat bersandar. Menemani dalam suka duka mengarungi bahtera kehidupan.

Madiun, 07082019
By Syehrazata Al Asyary

Antologi SyehrazataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang