Karena dia sahabatku

14 0 0
                                    

Pukul satu dini hari. Suara tangis si kecil membangunkanku. Seperti biasa. Untungnya si kakak masih terlihat damai dalam tidurnya. Sesekali tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang begitu menggemaskan.

Kuraih bayiku yang kini berusia tiga bulan. Hanya selisih satu tahun dengan kakak perempuannya yang tengah asyik belajar berjalan.

Anak lelakiku menyusu dengan lahap. Hingga terdengar suara tersirap saat mulut kecilnya menghisap kuat.

Aku meringis. Ngilu dengan hisapan lidahnya yang masih tajam. Rasanya seperti bisul yang hampir matang. Berdenyut menyakitkan. Mungkin inilah yang menyebabkan banyak wanita enggan menyusui buah hati mereka. Bahkan wanita menyusui berhak menuntut upah untuk air susu yang diminum bayinya.

"Dedek bangun, Bu?" suara suami mengalihkanku. Aku hanya mengangguk pelan. Ia bangkit dari ranjang dan segera keluar kamar. Tak lama terdengar bunyi dari arah dapur. Dan lelakiku kembali dengan semangkuk bubur ayam dengan aroma menggoda dan asap yang masih mengepul.

"Aaa ...." diulurkan sesendok ke arahku. Layaknya menyuapi si kakak. Kubaca basmalah dan menyambut suapan nikmat itu perlahan. Sejenak rasa sakitku berkurang.

Suapan demi suapan berlalu dengan cepat. Menyisakan mangkuk kosong yang bersih tuntas.

Alhamdulillah .... Kuteguk teh manis hangat yang dia angsurkan.

"Enak, Bu? Kalau enak besok tak beli lagi." Aku tersenyum. Dan mengangguk menyetujuinya.

Beberapa menit kami terdiam saling memandang. Sesekali aku tersenyum kala tangan hangatnya mengelus kepala. Menciptakan desir halus dalam dada.

Terdengar suara kakak merengek terisak. Matanya masih terkatup, tapi tangan dan kakinya bergerak gelisah. Aku menatap mata teduh itu sejenak. Tanpa kata. Dia mengerti arti tatapan ini. Dia balas menatapku lebih dalam. Lalu tersenyum lebar.

Sekilas dia mencium bayi dalam dekapan. Kemudian beringsut pada sang kakak perempuan. Menepuk-nepuk bokongnya sambil menyenandungkan shalawat.

Kupandangi lekat wajah lelakiku yang kini terlelap memeluk putrinya yang telah kembali tidur dengan tenang.

Masa itu kembali terkenang.

Siapa mengira lelaki lembut itu kini menjadi pendampingku. Sedetikpun aku tak pernah menyangka.

Bahwa pria yang berprofesi sebagai sekuriti tempatku bekerja, lelaki manis yang tidak lagi bisa dikatakan muda. Tetiba melamar di hari ketiga kematian ibu. Yang telah lama terbaring tak berdaya. Stroke telah setahun merenggut kesehatannya.

Sehari sebelum ibu tiada. Aku begitu panik mendapati tubuh ringkih beliau mengejang. Mata tuanya sedikit terbelalak, dengan mulut agak menganga.

Berkali-kali kupencet layar gawai dengan tangan gemetar. Sendirian menghadapi saat krisis semakin membuatku nelangsa.

Sebagai putri bungsu aku harus mandiri merawat ibu. Kedua kakak perempuanku telah lama berkeluarga. Jauh di luar kota. Sibuk dengan dunia mereka. Bisa pulang kampung dua tahun sekali saja sudah cukup luar biasa.

Aku hanya bisa mengandalkan teman-teman sesama buruh pabrik tempatku bekerja. Setidaknya bantuan mereka lebih bisa diharapkan daripada tetangga.

Seorang gadis yang dikategorikan perawan tua sepertiku tidak akan mudah mereka percaya. Lebih baik aku meminta bantuan kawan senasib.

Syukurlah.

Yuni teman baikku bersedia membantu. Tetapi Aku tak menyangka dia datang bersama Mas Ardi. Yang juga sahabat kami.

Malu sekali rasanya. Meski kami bertiga sudah begitu dekat. Tak mungkin seorang gadis sepertiku meminta bantuan seorang pria. Sekalipun ia sahabat baikku. Yang baru kuketahui berstatus single di usianya yang ke-tiga puluh lima.

Seketika Aku merosot ke lantai dingin begitu saja.

Merasa lega. Sekaligus terharu dengan kedatangan mereka.

Yuni memelukku yang menangis pilu. Sementara Mas Ardi dengan cekatan mengurus segala yang diperlukan untuk mengantar ibu ke rumah sakit.

Sayang keesokan harinya. Ketika kedua kakakku datang, nyawa ibu sudah tak tertolong.

Tak terbayangkan rasa sedihku kala itu. Apa yang harus kulakukan tanpa kehadiran ibu di sisiku. Sekalipun beliau hanya bisa terbaring tak berdaya. Tetapi tetap saja, wanita itu satu-satunya keluarga yang aku miliki di rumah besar ini.

Setelah bapak pergi untuk selamanya. Usai menikahkan putrinya yang kedua.

Kemudian.

Mas Ardi datang bagaikan seorang pahlawan. Yang menyelamatkanku dari jurang sepi dan keputusasaan.

Terima kasih banyak, Mas.

Ku kecupi berkali-kali wajah yang sedikit mengernyit dalam tidurnya itu. Apalah jadinya hidup ini tanpamu. Bisik hatiku.

Perlahan kedua matanya terbuka. Menarik tubuhku dan membawanya dalam dekapan.

Menyusulnya ke alam mimpi. Sambil terus berpelukan. Dalam hangat dekap lelakiku. Sahabatku.

"Sobat, jangan sedih jika jodohmu datang terlambat. Mungkin saja Tuhan hanya sedang mempersiapkanmu untuk menjadi orang tua yang lebih hebat."

Madiun, 19 Juli 2019

Antologi SyehrazataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang