Syukur

3 0 0
                                    


Perlahan kubuka kelopak mata. Menyesap oksigen dalam-dalam. Dan membuangnya. Bernafas, adalah nikmat pertama dan utama bagi segala yang bernyawa.

Satu hari lagi akan kumulai dengan mengingat-Nya. Aku mendengar seorang alim pernah berkata;

" Diantara ciri-ciri ahli surga, adalah membuka mata dengan mengingat Allah. Dan menutupnya juga dengan mengingat Allah."

Kuresapi setiap hela yang menyegarkan jiwa, dengan mengagumi rahmat-Nya. Yang meliputi diri yang faqir ini. Betapa mengingat-Mu memancarkan cahaya di dalam hati. Sementara di luar sana orang-orang sibuk memikirkan dunia yang menjelagakan jiwanya. Yang nyaris hangus menjadi debu.

Dari sini, kulihat cahaya gemintang yang bertabur menakjubkan. Berapakah harga yang harus kubayar untuk menikmati wajah semesta yang mengagumkan.

Setiap kerlip itu adalah planet-planet yang bahkan lebih besar daripada bumi ini.

Lalu bagaimana dengan kebesaran-Mu sendiri.

Memikirkannya saja aku tak berani. Sadar akan kapasitas akalku yang hanya bagai setetes air di lautan luas. Mustahil aku bisa sampai.

Kugerakkan lidahku menyebut nama indah-Mu. Hanya itu yang dapat kupersembahkan saat ini. Setelah semua yang kau limpahkan dalam hidupku.

Tak sekalipun aku meragukan kasih-Mu padaku. Hanya saja aku terlalu riskan mempercayai diri sendiri. Bahkan para utusan bisa melakukan satu kesalahan. Apalagi sahaya yang hina ini.

Aku tenggelam dalam kekaguman kedahsyatan sifat Rahman-Mu. Ketika seberkas fajar dan sayup seruan memanggilku, untuk menemui-Mu.

Kuambil seberkas debu. Dan bersuci dengannya. Tidak ada yang lebih kusyukuri dari ini.

Sesungguhnya sujudku, hidupku dan mati yang kunanti-nanti hanyalah untuk-Mu. Cita-cita tertinggi netra ini adalah memandang kepada-Mu. Tidak lebih tidak kurang.

Akan kuarungi neraka-Mu jika perlu. Jika itu adalah ketentuan yang Kau pinta.

Tapi. Kali ini, biarkan aku menikmati detak surgawi dengan menyembah-Mu.

Surga tidaklah terlalu indah tanpa kehadiran-Mu. Jika dalam sujudku Engkau hadir. Maka bagiku, tanah ini lebih indah dari surga-Mu.

Dalam keheningan kuresapi setiap detik dengan memikirkan-Mu.

Sedang apa Kau di 'sana'?

Selama ratusan ribu tahun pun otakku yang sebiji sawi ini takkan mampu memahami.

Bagaimana caranya Kau mengatur semesta ini, tanpa sekalipun menampakkan Diri.

Aku rindu Engkau.

Sangat rindu.

Hingga kedatangan Izrail tak bosan kunanti. Bilakah pesuruh-Mu itu datang?

Matahari menggeliat semakin tinggi. Waktu berlalu begitu cepat ketika aku terserap dalam puja kepada-Mu.

Suara langkah ringan terdengar. Kau begitu memelihara seonggok daging ini dengan baik. Bukankah sudah Kau kenyangkan aku dengan nama-Mu. Apa perlunya makanan yang hanya berakhir menjadi taik itu.

Biarkan saja lambung ini menggerutu. Tidakkah dia sadar, memenuhinya hanya akan mempersempit ruang hatiku. Untuk mengingat-Mu.

Gadis yang tak lagi perawan itu meletakkan sepiring nasi putih yang terlihat mengebulkan uap hangatnya. Membuat hatiku terharu dengan nikmat yang Kau curahkan.

Berapa lagi yang harus kubayar untuk ini, Tuhan?

Tanpa kata ia suapi lidah yang tak tahu malu ini. Berapa banyak sudah kau kecap rasa yang berwarna-warni.

Manis, pahit, asin, gurih. Semuanya enak.

Karena jika hanya ada satu rasa saja di dunia, maka akan terasa hambar.

Kukedipkan mata renta ini beberapa kali. Mengucap terima kasih lewat tatapan penuh puji.

"Sama-sama Pak Dhe," jawabnya. Dia mengerti bahasa netra ini.

"Sini, Rahma ganti bajunya. Pak Dhe hebat gak pernah ngompol. Sarungnya selalu bersih sampai waktu Dhuha. Tadi sudah shalat Subuh belum?" celotehnya riang sambil membersihkan tubuh yang hanya tinggal tulang berbalut kulit ini. Kukedipkan mata dua kali. Membenarkan pertanyaannya. 

Rahma-ku adalah bidadari. Ia merawat raga ini dengan tulus meski tanpa pernah mengeluh. Dibersihkan tubuh ini begitu hati-hati. Seolah aku adalah bayi yang wangi dan menggemaskan.

Bahkan jika aku memiliki darah daging sendiri. Belum tentu ia mampu merawatku sebaik Rahma.

Putri dari adik perempuan yang paling kusayangi. Yang mendahuluiku pergi. Setelah sekian lama merindukan sang suami. Yang menghilang di masa muda. Setelah membuahkan sebuah permata bernama Rahma.

Rahma Khoirun Nisa. Itulah nama pemberianku untuknya.

Gadis yang sedari kecil kuhujani dengan kasih sayangku. Yang kini tengah ia bayar tunai.

Meski telah menyempurnakan iman dengan seorang pemuda di pinggir desa. Ia tak pernah absen merawatku.

Masih kuingat sorot mata pedihnya kala harus meninggalkan rumah ini.

Yang serasa seperti pemakaman saat bidadarinya pergi. Ke tempat yang menjadi surga baru baginya.

Namun.

Kesunyian yang merenggut keperkasaanku ini takkan kusesali.

Karena senyap ini mempertemukanku dengan-Mu.

Berapakah harga sebuah surga, menurutmu?

Surga itu ada di sini.

Di dalam hatimu.

Kau hanya perlu mencari dan menjelajahinya dengan ketajaman mata hatimu.

Pandanglah bumi ini seakan engkau melihat Penciptanya.

Rasakan setiap sentuhan dari kemurahan Sifat-Nya.

Setiap sel di dalam tubuhmu terpelihara karena ketelitian-Nya. Juga setiap dzarrah di jagad raya. Nyaris saja isi otakku berceceran kala memikirkannya.

Sesekali. Lihatlah dunia yang menggelikan ini. Dan tertawakan saja.

Apa yang istimewa dari sesuatu yang kelak sirna.

Sangat mengejutkan jika seorang waras memilih seonggok taik yang akan dikeluarkannya. Ketimbang kembali ke sisi Pemelihara yang akan memanjakannya. 

Orang-orang tak waras akan berkata bahwa yang waras inilah yang sesungguhnya gila.

Bagaimana mungkin hidup tanpa harta?

Bagaimana mungkin harta dapat membeli hidup?

Kadang aku tertawa sepanjang hari mengingatnya.

Aku tak keberatan dipanggil 'orang gila'.

Karena aku, orang gila yang beruntung.

Beruntung karena di sisa umurku memiliki Rahma. Beruntung aku masih bisa setiap saat mengenali-Nya.

Beruntung karena hatiku masih dipenuhi rasa SYUKUR.

Madiun, 27 Juli 2019
#Efek_angel_merem

Antologi SyehrazataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang