Bab 1 Aria

39 7 2
                                    

Senja belum lagi usai di wilayah tak kasat mata pesisir pantai utara Indramayu. Semburat merah masih mewarnai awan berarak di langit lapis kedua.  Dari kejauhan tampak bayangan mendekat. Dalam hitungan detik, bayangan semakin mendekat dan membentuk siluet jelas mirip manusia.  Sementara di belakangnya pasukan pembawa tombak sejenis Cakra Udaksana* mengejar tanpa ampun.

Makhluk serupa laki-laki itu terlihat sedang berusaha meloloskan diri dari kejaran pasukan Danadyaksa.** Ia berlari secepat angin di sepanjang aliran sungai Kabupaten Sumedang yang bermuara ke laut, wajahnya pucat pasi antara hidup dan mati.

Pasukan jin yang menyerupai manusia berjumlah tiga belas melaju bagai kilat. Mengejar buruannya hingga ke muara laut Jawa pantai utara Indramayu. Mereka diutus oleh Raden Wiralodra penguasa Istana Pulomas, Desa Centigi Sawah,  Indramayu, Jawa Barat, untuk merebut pendant kalung berpahat yang berisi kata kunci untuk membuka tempat penyimpanan ribuan batangan emas.

Keturunan terakhir dari Maharaja Budipaksi yang beristrikan manusia, Aria Daniswara Budipaksi, merasa nyawanya di ujung ketika tombak  beracun hampir saja mengenai tengkuknya.

Di saat yang bersamaan portal lorong waktu dari dimensi pararel tak sengaja terbuka dan tertutup dalam hitungan detik. Aria melesat bagai busur menuju jalan penyelamat satu-satunya.
     
Keadaan senyap seketika, hanya terdengar bunyi napasnya yang terengah. Makhluk itu mendarat sempurna di lantai kayu yang dingin. Bau lembab dan apek menyergap hidungnya. Aria menenangkan napasnya yang memburu. Sambil tetap bersikap waspada, netranya menyesuaikan dengan keadaan temaram di sekeliling.

Pandangannya menyapu ruangan berukuran 4x5 m2 yang penuh dengan tumpukan barang-barang kuno tak terpakai. Hanya menyisakan ruang untuk sofa tua di depan perapian dengan lampu baca yang menyala redup.

Dindingnya kusam dengan cat yang mengelupas di sana-sini. Penerangan temaram dari bola pijar sepuluh watt tak mampu membuat ruangan menjadi lebih terang. Sementara, buku-buku tebal terserak di lantai menutupi sebagian papan yang hampir terbelah. Aria beringsut dan membaca lamat tulisan di atasnya, papan ouija.***

Pengalamannya sebagai jin yang telah hidup selama ratusan tahun membuatnya paham apa yang terjadi. Seorang manusia telah merapal mantra papan ouija beberapa menit yang lalu. Tapi siapa? Dan untuk apa? Dahinya mengernyit.

Makhluk separuh manusia yang berasal dari langit lapis kedua berdimensi empat  itu, memiliki penampilan layaknya remaja pria berumur sembilan belas tahun–walaupun ia berasal dari masa lalu. Ya, bagi bangsa jin berumur ratusan tahun masih dianggap remaja karena mereka bergerak amat cepat.  Mempunyai tinggi badan ideal dan proporsional, serta senyum yang menawan membuat siapa saja tak akan mengira bahwa dirinya adalah makhluk astral.

Suara berdebam muncul dari lantai atas. Seperti ada benda digeser atau bahkan dibanting. Disusul dengan teriakan-teriakan seorang gadis. Aria menajamkan pendengarannya. Terdengar dua orang sedang berargumentasi.

"Jangan selalu paksa aku dong, Nin! Aku masih mau sekolah! Gak mau aku jadi istri kedua Pak Adang!"

"Kanaya kalau kamu mau dengan Pak Adang hidupmu tak akan sengsara seperti sekarang. Ninin gak bisa nguliahin kamu."

"Aku akan berusaha keras mendapatkan beasiswa. Ninin gak usah khawatir."

Disusul dengan hantaman pintu selanjutnya. Bunyi berderak di tangga menunjukkan seseorang akan turun ke gudang bawah tanah. Seorang gadis remaja tampak terisak menuruni tangga gudang bawah tanah.

Tak ingin mengambil risiko ketahuan, Aria segera mengubah dirinya menjadi kucing hitam berbelang putih bersurai–salah salah satu kemampuan yang diajarkan di sekolah dunia jin– makhluk itu semakin merapatkan tubuhnya ke pojok yang gelap. Napasnya tertahan, jangan sampai gadis itu mengetahui keberadaannya.

DECISIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang