Bab 11 Abah Elan

8 1 1
                                    


Penampilannya sama sekali tak meyakinkan. Lelaki berumur enam puluhan memakai kemeja batik dan totopong lusuh, tampak berjalan lamat-lamat menuju rumah vila. Garis-garis halus di sekitar mata dan dahinya seakan memetakan kekerasan hidup yang dijalani selama puluhan tahun. Namun, sorot matanya begitu tegas. Bagi yang melihat pertama kali takkan menyangka, kalau lelaki berjenggot putih itu Abah Elan. Tetua desa yang disegani.

Abah Elan dimintai tolong Ninin untuk melihat keadaan rumahnya. Hawa mistis belakangan seperti melingkupi rumahnya. Serangan bola api dan hujan pasir sering mengenai gentengnya. Ninin khawatir terjadi sesuatu dengan dirinya beserta cucunya.

Abah Elan berdiri di halaman rumah vila. Mata tuanya menyipit ketika pendar matahari sore menghalangi pandangannya ke rumah yang dibangun sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu. Ia mengenal suami Ninin, almarhum Subagja. Ingatannya melayang ketika mereka sering bercengkerama di balkon sambil menyesap kopi arabika beraroma rempah-rempah.

Ia ingat betul betapa Subagja amat terpukul dengan kematian anak dan menantunya dalam kecelakaan pesawat menuju Indonesia dari Amerika. Menantu Subagja adalah staf KBRI yang ditempatkan di Washington DC.

Ia kembali menatap rumah dua lantai yang berdiri megah di hadapannya. Disainnya yang klasik membuat rumah ini tak lekang oleh waktu. Dua pilar besar seakan jadi saksinya.

Sayangnya keadaannya seperti kurang terawat sekarang. Catnya memudar dan mengelupas di sana-sini. Langit-langit pun tampak banyak mengalami kebocoran. Abah Elan mafhum, Ninin tak mempunyai biaya untuk memelihara rumah sebesar ini.

Dari arah dalam Ninin melihat kedatangan Abah di halaman. Dengan bergegas ia menemui tetua desa itu di luar.

"Assalamualaikum, Abah. Kumaha, damang?"

"Alhamdulillah, sae."

"Sok atuh. Mangga ka leubeut." Ninin mempersilakan Abah masuk.

Abah Elan berjalan lambat menuju ke dalam rumah, sementara Ninin mengekor di belakangnya. Aroma rokok daun kawung menguar di udara.

Lelaki itu memandang ke sekeliling ruangan. Ah, kondisi ruang tamu dan keluarga tak banyak berubah sejak kematian Subagja. Ruangan bergaya Viktorian yang dipenuhi dengan furnitur kuno. Sofa dan set kursi makan jati yang sama seperti puluhan tahun lalu dan jam Junghans setinggi hampir dua meter tampak tak berfungsi. Ukiran rumit pada furnitur kayu jati menyisakan kejayaan keluarga ini di masa lalu.

Abah Elan terkenal memiliki indera keenam yang kuat. Kemampuannya diwariskan dari generasi ke generasi oleh buyutnya yang berasal dari Kerajaan Pasundan. Tujuannya untuk menjaga dan melestarikan akar budaya Sunda. Tak membutuhkan waktu lama bagi abah, untuk mendeteksi adanya energi lain yang berputar-putar sekeliling rumah.

Energi positif bercampur dengan negatif. Sesuatu berusaha melindungi seseorang, ia menjadi tameng yang melingkupi rumah dari serangan membabi buta energi negatif. Aroma ketamakan dan ambisi mendominasi di sini. Semuanya bersumber pada nafsu ingin menguasai harta.

Abah tak banyak bicara. Tampak matanya mengawasi sekeliling. Sesekali menarik napas panjang.

"Kamana Neng Aya?" tanyanya tiba-tiba.

"Ada di kamarnya, Aya sibuk belajar karena mau ujian."

"Sebenarnya ada apa di sini, Abah?" Ninin mencoba mengorek keterangan dari sahabat suaminya.

Abah terdiam mendengar jawaban Ninin. Dahinya berkerut, seperti memikirkan sesuatu.

Ada yang selalu mengikuti si Eneng. Sesuatu yang memiliki kharisma besar. Di pundaknya terpikul beban berat, langit dan bumi. Abah merasa prihatin sebenarnya. Dia hanyalah remaja pemegang kunci, tidak lebih.

DECISIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang