Bab 18 Duel

3 0 0
                                    

Keinginan Kanaya untuk meninggalkan dunia benar-benar membuat Aria kesal. Cinta kadang membuat akal sehat menjadi tertutup. Untuk apa menyatukan perasaan dalam satu ikatan, tapi dengan jalan yang salah? Jalan yang sampai kapan pun tak diridai Yang Kuasa. Bukannya ia tidak senang akan bisa bersama, tapi ada restu yang harus mereka kantongi. Restu semesta. Jodoh tak kan lari, meskipun dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.

Sementara Kanaya berpikir segala apa pun yang terjadi adalah garis yang harus ditempuhnya. Mencintai seseorang dari dunia yang sama sekali berbeda juga atas skenarioNya. Kalaupun nantinya mereka bersatu, tentu saja tak lepas dari rencana-Nya juga. Jadi, kenapa reaksi Aria begitu kesal ketika ia mengutarakan keinginannya untuk meninggalkan dunia? Toh, memang hidup keduanya sedang berada di ujung tanduk saat ini.

Aria mempertimbangkan segala risiko yang akan timbul apabila ia memutuskan untuk bernegosiasi. Semakin lama memutuskan, penderitaan Kanaya terus berlanjut. Aria menyisir rambutnya dengan jemari. Jari-jarinya bergetar karena kebimbangan. Kekhawatiran dan kebimbangan terpeta jelas pada wajah remajanya. Memutuskan hal yang pelik dalam kondisi tertekan, membebani dirinya.

***

Pasukan Adhyaksa tak terlihat. Mereka adalah tentara yang efisien. Gabungan dari makhluk lapis dasar dengan ilmu kanuragan tinggi dan makhluk gaib terpilih dari dimensi 4. Menampakkan diri dalam wujud manusia hanya apabila dibutuhkan. Pusat komando berada di tangan Ki Tinggil. Manusia kuno sakti dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Berkostum ala tentara kerajaan Majapahit. Tidak banyak senjata yang dipakai dalam berperang, beberapa diantaranya pedang, tombak, panah, dan tameng.

Ki Tinggil memperhatikan gerak-gerik Aria hanya melalui layar pipih. Ia yakin dalam waktu dekat anak itu akan menyerah. Apalagi kalung balung berada dalam genggamannya. Diperhatikannya secara saksama kalung yang bandulnya terbuat dari tulang dengan pahatan di baliknya. Di matanya kalung ini tak berarti apa-apa. Namun, bagi Aria kalung itu berupa tiket untuk melarikan diri.

***

Seharian tidak berkomunikasi dengan Kanaya membuatnya Aria rindu.

"Ay, kamu masih marah?" bisiknya melalui vibrasi, "maaf." Lama tidak ada jawaban. Aria pasrah, gadis itu benar-benar ngambek. Semenit, dua menit, satu jam. Enggak ada balasan. "Keterlaluan gadis ini, pundung kok lama banget?"

Setelah satu jam dicoba lagi untuk berkomunikasi. "Sayang, udah ya ngambeknya?" Aria menghela napas panjang, " ya, udah terserah kamu mau ngapain." Aria dapat mendengar ritme jantung Kanaya yang berubah-ubah sesuai dengan suasana hatinya. Baru saja ia katakan boleh ngapain aja detaknya langsung menguat seperti membuncah.
Senyum terkembang di wajah rembulan gadis itu, taktik pura-pura ngambeknya berhasil.

"Ya, udah," jawabnya semringah, "aku maafin, tapi janji ya? Aku boleh ikut ke mana kamu pergi."

"Terserah, kita liat aja nanti ke mana angin membawa." Aria pasrah. Percuma melawan kekeraskepalaan perempuan ini. "Trus, kamu gak pingin lanjut kuliah memangnya?" tanya Aria lagi.

"Enggak." Kanaya menjawab pendek. Ada rasa getir ketika mengucapkan kata itu. Kondisi membuatnya melepas mimpi.

***

Perjumpaan dengan Abah Elan kemarin membuat Aria geram. Walau hanya bertemu lewat tatap mata, Aria mencium gelagat yang tidak beres. Berarti selama ini Abah Elan bersekongkol dengan Ki Tinggil? Ada hubungan apa di antara keduanya? Kenapa tidak dari dulu saja Abah Elan menangkapnya.

"Ah, tentu saja," Aria menepuk dahi, "kekuatan dari kalung balung masih menyelimutinya." Abah Elan tak akan berani ambil risiko itu, terserap ilmu, ingatan, dan energinya sekaligus apabila mencoba meretas pendar cahaya biru.

DECISIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang