Bab 19 Pantai Cahaya

4 0 0
                                    

Aria memeluk tubuh Kanaya erat, seakan enggan melepasnya. "Demi Tuhan, berjanjilah untuk bertahan Aya! Jangan berakhir seperti ini aku enggak rela," kata-kata itu terus saja keluar dari mulut Aria sambil bersimpuh.

Namun, Kanaya merasa suara Aria hilang timbul dan terkadang menjauh. Ia merasakan dadanya sesak. Nyeri amat sangat ketika bernapas. Punggungnya seperti hendak patah. Hantaman bertubi-tubi membuat tubuh gadis itu lunglai.

Melihat Kanaya dalam kondisi sekarat membuat Aria frustasi.

"Aaarrrgggh ... ! Apa yang kamu mau Ki Tinggil? Lepaskan kami maka akankuberikan apa yang engkau mau!" seru Aria tanpa melepaskan Kanaya dari pelukannya. Aria tak punya pilihan lain.

Ki Tinggil membuka layar raksasa di langit. Perlahan layar memunculkan sebuah ilustrasi garis pantai dengan panjang ratusan kilometer. Gambar bergerak seolah hidup. Suara debur ombak pantai bahkan terdengar oleh seluruh yang hadir di lapangan itu. Angin bertiup sepoi-sepoi menyapa ujung-ujung daun kelapa. Sekilas tampak tak ada aktivitas makhluk apa pun di tempat itu. Hanya bibir pantai sepi yang sebagian wilayahnya tertutup rawa.

Gambar bergerak terus-menerus seolah hidup, secara perlahan pemandangan garis pantai berubah menjadi siluet sebuah bangunan. Seiring gambar yang bergerak semakin cepat, sebuah angunan megah raksasa berlapis emas seolah muncul dari dalam bumi.

Aria sangat mengenali bangunan itu, brankas harta Kerajaan Pulomas yang tersohor. Bangunan megah yang digadang-gadang sebagai tempat menimbun ribuan lantakan emas itulah biang keladi dari segala kekacauan yang terjadi antar dimensi. Tujuan utama bagi para pencari harta gaib.

Raja Budipaksa memelihara dua raptor purba raksasa untuk menjaga dan memusnahkan siapa saja yang berani mendekati bangunan itu. Di dalam layar, tak terlihat sepasang raptor itu karena kuran mereka setara gunung sehingga layar sebesar apa pun tak dapat menangkap bentuknya secara utuh.

"Aria, sudah siap barter?" Ki Tinggil menatap pemuda itu dengan pandangan menusuk.

Aria balas menatap pemimpin Pasukan Adhyaksa itu dengan tatapan yang sukar dimengerti.

"Kapan saja bisa dimulai," ujar Aria, "tapi, aku minta jaminan agar kamu tak akan mengingkari janji untuk melepas kami," imbuhnya lagi.

"Kamu dapat memegang janji saya anak muda-," kata Ki Tinggil sambil melepas kalung pendant balung, "benda ini jaminannya," tambahnya lagi sambil meletakkan kalung itu di bawah kakinya.

Aria melirik kalung dari ibunya, bagi jin keturunan manusia itu pendant tulang ekor almarhumah Sulastri lebih berharga dari apa pun.

Napas Kanaya tersengal di pelukan Aria, kadang ia terbatuk sambil meringis menahan sakit akibat tulang-tulangnya yang patah di beberapa tempat.

Aria berkonsentrasi penuh untuk me-remote kedua raptor. Kata sandi dapat berubah setiap saat tergantung pola yang terpikir di kepala Aria. Hanya pemuda itu yang memiliki akses komunikasi dengan kedua monster purba itu selain Budipaksa tentunya.

Ki Tinggil menatapnya saksama. Ia memberi komando agar Pasukan Adhyaksa dalam keadaan waspada untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Tanpa sepengetahuan Ki Tinggil, red notice telah diterima oleh kedua penjaga gudang harta. Red notice adalah program yang ditanamkan oleh Raja Budipaksa untuk sewaktu-waktu dipakai dalam kondisi terdesak. Program ini pun telah diturunkan kepada putra mahkota satu-satunya sebagai benteng pertahanan terakhir.

"Password-nya adalah -," Ki Tinggil mendekatkan telinganya. Aria tampak membisikkan sesuatu. Ksatria kuno yang memegang tombak Cakra Udaksana itu semakin menempelkan ujung senjata yang dingin pada urat nadi lehernya. Bibir Ki Tinggil bergerak selaras dengan password yang diucapkan oleh Aria.

DECISIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang