Bab 9 Resah

11 1 1
                                    


Aria memandang lekat gadis di hadapannya. Garis rahangnya mengeras. Bibirnya mengatup dengan sorot mata yang tak dapat ditebak maknanya.

"Aku tak memerlukan apa-apa darimu, Aya. Bahasa yang kugunakan adalah firasat. Melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga. Aku seolah dapat melihatmu di mana-mana dan itu cukup," ucap Aria dengan suara dalam.

"Cukup untukmu, tapi tak cukup untukku." Kanaya berkata sambil memainkan ujung kemeja flanelnya, "Aku menginginkan lebih Aria. Kamu ada, tapi tak nyata dan itu membuatku frustrasi ...."

"Aku selalu ada, Aya. Kamu sadari atau tidak? Aku ada bahkan dalam mimpi terburukmu, dalam setiap tangis dan bahagiamu. Bagaimana bisa kamu bilang aku gak nyata?" Aria memegang kedua bahu gadis yang tertunduk, tak berani menatap.

"Alam tidak menggariskan untuk kita bersama Aria. Kamu harus sadari itu cepat atau lambat. Cerita tentang kita hanyalah dongeng belaka."

"Tidak, alamlah yang menghendaki kita bertemu. Melewati paradoks waktu. Melewati ribuan cahaya. Beri aku waktu untuk membuktikan."

"Aku benci perpisahan, Aria. Cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Kita tidak ditakdirkan bersama."

Aria merengkuh Aya dalam peluknya. Sesuatu dalam dirinya menggelepar, mencoba menafikan segala yang terjadi.

Demi langit, matahari, hujan, dan segala yang berjalan di muka bumi, aku akan menukar hidupku demi bisa bersamamu ...

Jam dinding berdentang satu kali dini hari. Aria terbangun dan tergagap. Mimpi barusan seolah nyata. Pria itu duduk di samping tempat tidur dan mengusap dahinya yang berpeluh.

***

Esok hari

Ninin terus saja mencecar bu Endah mengenai keberadaan Aria.

"Bu Endah, tolong beritahu saya apa yang Ibu tahu mengenai sesuatu yang ada di rumah ini. Waktu itu Ibu bilang kalau berbicara dengan seorang pemuda di teras. Cucu saya bilang tak tahu apa-apa mengenai laki-laki itu. Sebenarnya siapa yang Ibu maksud?"

"Hapunten, Nin. Abdi teh teu terang. Hanya bisa merasakan hawa panas yang berbeda dari yang biasa Ninin dan Neng Aya keluarkan. Makanya abdi bilang ada orang lain di rumah ini." Nada suaranya terdengar gamang.

"Ibu tau gak, kemarin saya ketemu pemuda itu. Dia ada, menopang badan saya, sesudah itu pergi tanpa jejak. Saya jelas melihatnya Bu, seseorang yang berwajah kasep . Makanya saya juga gak takut ngeliatnya," terang Ninin selanjutnya.

"Ada kekuatan yang menyelimuti cucu Ninin. Semoga bukan kekuatan jahat yang hendak mencelakakan keluarga sini." Raut muka Bu Endah berubah. Kekhawatiran terpeta jelas di sana. Mata tuanya yang tak dapat melihat bergerak-gerak.

Ninin dapat melihat perubahan ekspresi itu, bagaimanapun ia telah bertahun-tahun berinteraksi dengan bu Endah. Ia hafal dengan gestur terapis pijatnya.

Ada seseorang yang mungkin dapat berkomunikasi dengan makhluk itu. Seseorang yang berilmu. Batin Ninin.

***

Minggu pagi yang basah

Kanaya menatap mug hampir kosong di depannya. Gelas yang berisi teh melati hangat tanpa gula menyisakan harum menguar. Sambil duduk melipat kaki di kursi meja makan, pikirannya mengembara ke mana-mana. Pagi ini seperti biasanya daerah Lembang diselimuti kabut dengan rinai hujan tipis. Pengumuman kelulusan SMA sudah lebih dari dua minggu berlalu. Fokusnya kini menghadapi tes ujian masuk perguruan tinggi. Namun, bagaimana bisa fokus kalau menunggu tanpa kepastian.

Tangannya mengetuk-ngetuk meja makan. Suaranya gemeretak menandakan pemiliknya risau. Sudah hampir seminggu tak ada kabar dari Aria. Ia mencoba menghubungi ponselnya, tapi selalu saja voicemail yang menjawab. Ingin rasanya menyusul ke apartemen di Tamansari La Grande Jalan Merdeka. Namun, Aria tak pernah membolehkannya untuk datang.

DECISIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang