Bab 12 Melepasmu

7 1 0
                                    


Kanaya tafakur. Berusaha mencerna apa yang barusan Abah sampaikan. Apakah selama ini ia melawan takdir? Rasa sayang yang berlebihan malah menyeretnya lebih dalam ke dalam labirin persoalan.

Apakah ia siap menerima segala konsekuensi di dunia maupun akhirat? Kanaya bergidik membayangkannya. Demi Tuhan, ia tak kan sanggup. Namun, membayangkan Aria harus menghadapinya semuanya sendirian membuatnya tak rela.

"Bukan begitu Aria?" Secara tiba-tiba abah melontarkan pertanyaan.

Kanaya terkesiap sambil menajamkan pendengarannya. Apakah ia tak salah dengar? Barusan abah bertanya dan menyebut nama Aria. Memangnya Aria ada di ruangan ini? Kanaya melihat sekeliling berharap menemukan apa yang ia cari. Dadanya berdegup, detak jantungnya bertalu-talu menggedor dinding hati. Rasa kangennya begitu membuncah. Seribu pertanyaan mendesak maju.

Aku ingin penjelasan kenapa Aria tidak membalas pesan? batin Kanaya.

Abah terlihat sedang berkonsentrasi penuh, Kanaya enggak tega mengganggu.
Apalagi melihat perubahan ekspresi wajah abah yang berubah-ubah. Terkadang keningnya berkerut sehingga alis matanya hampir terpaut. Ia terus menahan diri untuk tidak membuyarkan semedi abah, walaupun hatinya tak sabar ingin bertanya.

Apakah Abah sedang berkomunikasi dengan Aria?

Aria yang sejak tadi berada di sudut ruang, terkejut mendapat pertanyaan tiba-tiba dari abah. Kewaspadaannya meningkat. Manusia satu ini dapat mendeteksi keberadaannya.

"Muhun." Aria menjawab pendek.

Abah mencoba membuka komunikasi dengannya melalui telepati. Pemuda itu membuka sensor telepatinya agar dapat berkomunikasi dua arah.

"Nak, dunia kita berbeda. Neng Aya, bukan dari golonganmu."

"Kalau saja aku dapat memilih jatuh cinta dengan siapa, tentunya bukan manusia yang kupilih, Abah."

"Lihat Aya, dia menderita karena perasaan kalian."

"Aku tahu, tapi tak kuasa menahan gairah ini."

"Kamu membawanya dalam bahaya. Itukah yang dinamakan cinta?"

"Semua limpahan kekayaan ini seperti kutukan bagiku, Abah. Aku rela menukarnya demi Aya."

"Pikirkan kerajaan Ayahmu dan rakyat di dalamnya sebelum bertindak gegabah."

"Muhun."

"Apa yang harus kulakukan? Aku tak sanggup meninggalkan Aya tanpa penjagaan. Pasukan Adhyaksa mulai membabi buta. Mereka menjadikan Aya target agar aku menyerah dan menyerahkan kunci ruang harta gaib."

"Belajarlah untuk melepaskan ...,"

"Ambil apa saja, asal jangan rasaku untuk Kanaya," pinta Aria memelas.

Abah tercenung mendengar penuturan Aria. Manusia dan jin sama-sama makhluk ciptaan Allah. Abah melihat Aria yang berusaha tegar menghadapi badai persoalan. Jin remaja yang memiliki kekuatan sekaligus kerendahan hati. 

"Tinggalkan Aya, pergilah ke tempat di mana nafsu bukan lagi prioritas."

"Ta-tapi bagaimana dengan Aya? Saya enggak akan meninggalkannya tanpa penjagaan."

"Jangan khawatir ada Abah yang akan menjaganya. Tak kan ada lagi yang akan menyakitinya." Abah Elan meyakinkan Aria.

"Pasukan Adyaksa akan berhenti mencari Aya, kalau kamu melepaskannya."

Aria tak sanggup mendengar kata-kata abah terakhir. Ribuan cahaya dilaluinya karena takdir membawanya bertemu Kanaya.

Pandangannya serta-merta berpindah ke wajah Kanaya yang sedang duduk di lantai. Wajah itu? Sinarnya hilang. Seperti layu tak bergairah.

DECISIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang