Bab 14 Perantara

17 1 0
                                    

Kanaya merasa lega sekarang. Paling tidak ujian masuk PTN sudah terlewati. Tinggal tunggu hasilnya awal bulan Juli. Ninin sudah ultimatum kalau tidak ada biaya untuk masuk perguruan tinggi swasta. Kecuali, ia menerima tawaran Pak Adang untuk melanjutkan kuliah setelah menikah.

Hanya dengan mendengar namanya saja, gadis itu sudah merasa mual. Tak terbayangkan di benak kalau harus bersanding dengannya di pelaminan. Namun, keinginan untuk melanjutkan studi begitu besar.

Sudah tiga hari berlalu sejak insiden terserempet motor yang membuat dahinya mendapat jahitan. Saatnya kontrol untuk melihat kondisi jahitan.

Suriken atau Ken, Kanaya selalu tertawa kalau mengingat nama ini, sudah datang sejak tadi. Dengan setia ia menunggu di teras bahkan sejak dua puluh menit yang laku. Ninin ikut menemani di teras dan mengawasinya dengan lekat. Pemuda itu tampak tak keberatan ngobrol dengan Ninin. Sesekali disibaknya poni yang menghalangi matanya.

"Neeeng, Si Ken udah nunggu dari tadi!" teriak Ninin.

"Muhun, Nin. Ini lagi nyari kaos kaki," sahut Aya tak kalah nyaring.

"Langsung pulang ya setelah kontrol." Pesan Ninin.

"Muhun. Jalan dulu ya Nin." Aya pamit dengan Ninin.

"Iya, hati-hati." Ninin mengantar sampai pintu.

"Yuk, Ken."

Ken pamit dengan Ninin dan mencium tangannya takzim.

"Lama amat sih dandannya. Kamu sengaja ya ngerjain aku. Pegel tauk ngobrol sama Ninin," kata Ken sambil mengerucutkan mulutnya. Persis seperti anak kecil yang merajuk, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang tinggi dan berisi. Kanaya terbahak melihat ekspresi wajah Ken yang sengaja dibuat-buat untuk mengejeknya.

"Duh, maaf deh. Tadi itu gak tau aku kesulitan nyari kaos kaki," ujar Aya polos.

"Yaelaaah ... cuma gara-gara kaos kaki." Ken menggaruk kepalanya yang enggak gatal.

"Nih, pake helmnya." Kanaya pakai helm bogo yang diangsurkan Ken. Tak dinyana, Ken dengan perhatian membantu mengunci kaitan helmnya agar tak terlepas. Perhatian juga nih anak, ujar Aya dalam hati.

Motor Yamaha NMax 155 meluncur membelah jalan raya Lembang menuju Klinik Padjajaran Jatinangor.

***

Ninin sedang menyiram bunga ketika suara ringtone mono dari ponsel Nokia miliknya memecah Minggu pagi. Ninin melihat sekilas ke arah layar. Air mukanya berubah berseri.

"Assalamualaikum, Pak." Ninin menyapa pria di ujung sambungan telepon.

Kepalanya mengangguk-angguk sambil mendengarkan pembicaraan lawan. "Muhun. Nanti saya ajak anaknya."

"Sami-sami. Waalaikumsalam," jawab Ninin mengakhiri obrolan.

Tanpa menunggu selesai menyiram tanaman, ia bergegas masuk ke rumah.

"Neng, antar Ninin ya?" pintanya pada cucunya.

Aya yang sedang mengudap roti di meja makan mengernyit. Tumben Ninin ngajak aku, dalam hati Kanaya.

"Ke mana, Nin?"

"Pengajian, Neng. Jangan lupa pakai baju putih, ya."

Pengajian? Baju putih?

"Muhun, Nin."

Dengan menumpang mobil online, mereka menuju ke Desa Langansari Buka Negara. Kendaraan berjalan menyusuri Jalan Raya Maribaya. Dalam dua puluh dua menit, mereka sampai di sebuah rumah megah berasitektur modern di Kampung Suka Mulya Desa Langansari. Rumah mewah berlantai dua itu terlihat sangat kontras dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Sesampainya di gerbang, seorang satpam  menghampiri dan menanyakan maksud kedatangan.

DECISIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang