Bab 5 Suara Itu

13 3 1
                                    

Setelah membantu Ninin mengantar kue ke rumah Bu RT, Kanaya memutuskan untuk berjalan menyusuri jalan setapak di belakang perkampungan. Ada satu tempat yang sudah lama tak ia singgahi. Bukit Cikahuripan.

Tinggal di daerah wisata seperti Lembang sungguh merupakan keuntungan tersendiri. Pemandangan indah, udara yang sejuk serta bukit dengan hijaunya hutan menghampar merupakan pemandangan sehari-hari. Desa Cikahuripan sendiri terkenal akan wisata alamnya yang instagramable. Meskipun demi memuaskan para pengunjung, hutan menjadi korbannya karena dijadikan area resort.

Dulu sewaktu kakek masih ada, Kanaya kecil sering diajak menyusuri jalan setapak hutan pinus yang menembus punggung bukit perkebunan teh untuk sekadar menikmati terbenamnya matahari sore. Kakek dengan suka cita menerangkan segala hal yang ditanyakan gadis kecil yang rasa keingintahuannya tinggi itu. Sambil menyusuri jalan setapak, ia senang sekali memunguti bunga pinus yang bertebaran untuk mengisi vas bunga.

Setelah kepergian kakek, Kanaya memilih mengurung diri di rumah. Tak ada keindahan yang sanggup menggantikan posisi kakek di hatinya. Namun sore ini, ia ingin mengulang perjalanannya bersama kakek, mungkin karena kangen dengan sosok berwibawa itu.

Dari rumah Bu RT, Kanaya meneruskan perjalanan menuju punggung bukit. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak ia melewati jalan setapak itu terakhir kali. Setelah bermenit-menit berjalan menyusuri jalan setapak yang mulai menanjak, ia mulai merasa bingung. Sepertinya hanya berputar-putar di tempat yang sama, padahal dari tadi gadis itu berjalan menuju arah matahari terbenam. Makin lama perjalanannya malah melesak masuk ke dalam hutan. Pepohonan mulai rapat sehingga makin susah baginya menjadikan arah matahari sebagai patokan.

Dari kejauhan binatang malam mulai mengeluarkan suara riuhnya. Kanaya mulai kesulitan berkonsentrasi karena oksigen yang menipis. Jaketnya tidak sanggup menahan angin lembab daerah pegunungan. Cuaca yang tadinya cerah berubah ekstrim. Kabut turun perlahan disertai hujan rintik-rintik.

Gadis itu mulai menangis. Teringat mimpinya beberapa hari yang lalu. Ketika ia merasa diselimuti kabut tebal sehingga susah untuk bernapas. Mimpi itu seakan menjadi nyata. Sekarang ia terjebak di hutan punggung bukit. Dengan jalan terjal yang semakin licin dan penuh belukar di sana-sini.

Kayana memutuskan untuk duduk di batang kayu, berdiam diri dan tak meneruskan perjalanan. Kakinya terasa pegal dan sakit. Sandal gunung yang dipakainya tak mampu meredam beratnya medan. Kini ia hanya bisa pasrah dan menunggu dalam kondisi lelah dan haus.

"Aya, bangun!"

Suara itu begitu dekat di telinganya. Namun, tak seorang pun terlihat di situ. Kanaya mengumpulkan segenap kesadaran dan menajamkan pendengarannya.

"Ayo, bangun. Ikuti intuisi kamu. Jalan akan terbuka." Suara itu kembali terngiang.

Suara yang pernah didengar sebelumnya, tapi di mana?

Seolah mendapat tambahan kekuatan, Kanaya beranjak dan mulai mengikuti intuisinya. Alam seolah merestui. Kabut tebal mulai menipis dan rinai hujan berhenti. Meskipun jalan menjadi sangat licin, tak menyurutkan semangatnya untuk mencari jalan keluar.

Aria yang mengetahui sahabatnya dalam bahaya, segera melesat untuk memberi pertolongan. Seandainya Kayana tahu, sosok Aria lah yang menerobos belukar di depan Kayana untuk membuka jalur setapak agar Kayana dapat menemukan jalan menuju ke perkampungan.

Setelah tiga puluh menit menuruni punggung bukit. Kayana merasa lega, lampu rumah penduduk mulai terlihat. Magrib baru saja berlalu sepertinya, Kayana bergegas kembali ke rumah vila.

***

"Dari mana aja kamu? Anak perempuan jam segini baru pulang!" Ninin berkacak pinggang di depan pintu. Tak dipedulikannya tubuh cucunya yang basah dan menggigil kedinginan.

DECISIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang