Pagi ini ...
Kanaya membuka matanya perlahan, sudah beberapa minggu ia habiskan di tempat ini. Serangkaian pengobatan dan operasi telah dilakukan untuk memulihkan kondisinya.
Matanya menerawang menatap langit-langit. Berada jauh dari tanah leluhurnya membuat gadis itu rindu. Ia kangen kamarnya di Lembang, gudang bawah tanah, Mila, bahkan Ninin. Ia sudah memaafkan Ninin atas segala yang telah orang tua itu lakukan.
Meskipun alat penyokong organ vital sudah dilepas, tapi Kanaya belum mampu berjalan sendiri tanpa kursi roda. Napasnya kadang masih terasa sesak.
Kanaya amat menikmati pemandangan Mediterania yang indah di atas kursi rodanya, dekat dengan tepi jendela. Ia membayangkan berjalan-jalan di sepanjang tepi laut. Berjalan di atas trotoar yang lebar dengan pohon-pohon rindang serta lampu jalan kuno yang berjajar-jajar.
Menurut cerita Aria, di sepanjang jalur pejalan kaki yang luas ini, wisatawan dan banyak penduduk setempat dapat menikmati pemandangan teluk sambil paseo por la noche (jalan-jalan sore). Jalur ini diapit oleh taman tepi laut yang dipenuhi dengan pohon-pohon rindang dan semak yang terawat baik.
Aria selalu menemaninya menikmati pemandangan kota pelabuhan yang terhampar dari balik jendela rumah sakit. Terkadang sambil membacakan novel atau menceritakan tentang jejak kejayaan Islam di Spanyol.
Kanaya mendengarkan segala cerita Aria dengan saksama. Tiap kali Aria bercerita, ia membayangkan terlibat di dalamnya, bahkan ikut merasakan emosi yang mengaduk perasaan. Tak jarang hingga air matanya menitik. Seringkali Aria tergelak karena kenaifan Aya.
Jin laki-laki itu memang pandai membawakan cerita. Ia menggunakan seluruh indranya dalam bernarasi. Gerak-gerik tubuh serta ekspresi wajahnya mengikuti karakter tokoh, sehingga kadang dirinya terbawa suasana.
"Ay ...." Panggilan Aria membuyarkan lamunan Kanaya.
"Hmm." Gadis itu hanya menjawab pendek. Tanpa melepaskan pandangannya pada hiruk pikuk kota di sore hari.
"Kalau sudah sembuh kamu kembali ke Lembang, ya. Melanjutkan kembali hidupmu." Aria berkata lagi.
Mendengar pernyataan Aria barusan, Kanaya mau tak mau menengok ke arah Aria. Menelisik wajah yang kini berada di depannya sambil berjongkok. Kanaya ingin melihat perubahan air muka itu.
"Kamu yakin?" Kanaya berusaha memastikan lagi.
"Yakin." Aria menjawab mantap.
" ..., tapi kamu bohong." Kanaya mulai meradang.
Aria membuang pandangannya ke segala arah, sementara tatapan Kanaya seolah menembus relung hatinya yang terdalam. Gadis itu tahu ia berbohong, Aria berkata dalam hati.
Suasana mulai terasa panas. Mesin pendingin udara tak mampu mencairkan suasana yang tegang di antara keduanya.
"Aku gak mau. Aria jangan paksa aku. Kita sudah pernah membahas hal ini sebelumnya," tukas Kanaya.
"Jangan gitu, kamu kan tahu kita berbeda alam."
"Akan tetapi, ibumu bisa menikah dengan ayahmu." Kanaya terus saja mencari alibi pembenaran.
"Itu ... pengecualian," jawab Aria tak nyaman. Ia paling tidak suka keputusan ibunya di masa lampau jadi bahan perdebatan.
"Berarti aku juga bisa." Kanaya merajuk sambil setengah memaksa.
"Dengar ya karena minimnya ilmu, Ibuku melawan kodrat, melawan takdir. Dan akibatnya tak terbayangkan. Sungguh mengerikan. Menghasilkan keturunan separuh manusia dan jin seperti aku. Kalau aku mati aku gak tau harus dikubur atau dibakar?" Aria begitu berapi-api.
KAMU SEDANG MEMBACA
DECISION
Mystery / ThrillerDECISION by Happy Dee Kehidupan Aria Daniswara Budipaksa tak lagi sama sejak menerobos dimensi lain untuk menyelamatkan kekayaan kerajaan jin ayahnya. Dalam pelariannya, secara tak terduga ia bertemu dengan Kanaya Tsabita. Gadis yang membawanya da...